Terobosan Dakwah Masa Kini di Tengah Pandemi


https://unsplash.com/@rakadwiwicaksana

            Laut Marmara Istanbul tampak begitu indah siang itu. Birunya air laut ditambah dengan munculnya sekelompok lumba-lumba saat pandemi berlangsung yang sebelumnya nyaris tidak terlihat. Alam seperti menemukan harmoninya lagi. Sungai-sungai bebas dari limbah-limbah kotor dan udara terasa lebih sejuk karena aktivitas cerobong pabrik berhenti. Seolah mengisyaratkan pandemi ini adalah musibah bagi keberadaan manusia. Namun di sisi lain anugerah untuk alam semesta. Saat ini pandemi Corona Disease 2019 (Covid-19) masih belum kelihatan tanda-tanda akan mereda.

            Pesan-pesan kebajikan yang disampaikan ulama dan lembaga keagamaan tentu akan menjadi angin segar bagi masyarakat. Melihat fenomena yang terjadi sekarang, maka tak salah jika agama berfungsi untuk memanusiakan manusia tidak terbantahkan. Lalu bagaimana ulama dan lembaga keagamaan menjawab problematika inovasi dalam berdakwah. Terobosan inovasi apa yang bisa dilakukan selama pandemi berlangsung. Sebelum itu kita harus berkaca pada satu inovasi di dalam sejarah Islam untuk menemukan benang merah ulama untuk menjawab semua ini.

 

Islam Menghadapi Pandemi

 

            Jauh-jauh hari sebelum wabah Covid-19 eksis seperti sekarang. Pada abad ke-13 benua Eropa dihebohkan dengan wabah black death yang menewaskan 1/3 penduduk Eropa saat itu. Tak terkecuali terjadi di salah satu pusat peradaban Islam di Granada, Andalusia. Wabah black death atau dikenal dengan istilah Wabah Hitam sampai ke pusat peradaban Islam di Andalusia pada 1347. Lisan al-Din Ibn Al-Khatib (wafat 1374) yang hidup pada masa Sultan Muhammad V, dikenal sebagai ahli agama, sejahrawan, penyair, filsuf, dan dokter yang menyarankan kepada umat Muslim untuk menjalani karantina selama Wabah Hitam berlangsung.

            Russell Hopley dalam bukunya berjudul Contagion in Islamic Lands: Responses from Medieval Andalusia and North Africa menyebutkan bahwa Ibn-Al-Khatib mengandalkan hasil pengamatannya dan penelitian empiris untuk memberikan kesimpulan terhadap wabah yang terjadi saat itu. Al-Khatib menulis semua penemuan yang ia tulis dalam risalah medis Muqni'at al-Sā'il 'an al-Maraḍ al-Hā'il (Jawaban atas penyakit yang mengerikan) bahwa penyakit ini muncul dari mikroorganisme yang tidak bisa dilihat oleh mata secara langsung. Ibn Al-Khatib menyarankan kepada penduduk Granada saat itu untuk mengisolasi diri di rumah. Berkat penemuannya banyak orang yang terselamatkan.

 

Inovasi Berdakwah Zaman Kini

 

            Kisah Ibn Al-Khatib tidak menjadikan kita jumawa semata karena romantika sejarah. Tetapi bisa dijadikan sebagai pembelajaran. Masalah yang kerap terjadi saat ini adalah ulama-ulama yang kita miliki kebanyakan hanya ahli dalam satu bidang keilmuan. Berbeda dengan ulama pada zaman dahulu. Mereka tidak hanya mahir dalam ilmu keislaman. Tetapi juga paham berbagai macam ilmu seperti filsafat, kedokteran, astronomi hingga matematika.           

            Meskipun kita tidak bisa berkaca kepada sejarah karena bersifat kaotis. Artinya sejarah dahulu tidak bisa diimplikasikan di masa sekarang. Namun melihat kemajuan sains dan teknologi para ulama harus mencari inovasi terbaru agar tidak tergerus oleh perkembangan zaman. Para ulama harus mengakui bahwa fatwa saintis di tahun-tahun mendatang akan jauh lebih didengar, dari pada fatwa-fatwa mereka. Jika para ulama tidak melakukan perubahaan. Maka jangan salahkan orang-orang yang berpikir bahwa perkataan ulama itu kuno, tidak fleksibel dan kurang modern.

            Keputusan pemerintah Arab Saudi menutup dua tempat suci umat Islam pada 26 Februari lalu mengisyaratkan bahwa aktivitas beribadah di tempat umum sangat tidak dianjurkan. Di Indonesia Jamaah Tabligh sempat mengadakan pertemuan besar Ij’tima Ulama Se-Asia pada pertengahan Maret lalu di Gowa, Sulawesi Selatan. Namun akhirnya penyelenggara acara setuju untuk membatalkan acara Ij’tima ini pada 18 Maret, setelah setidaknya 8.500 orang telah berkumpul di daerah tersebut.

            Oleh karena itu peran stakeholder dalam pengambilan keputusan sangat penting dalam situasi seperti ini. Mengingat Indonesia merupakan negara mayoritas Muslim. Pemerintah tidak bisa bekerja sendiri tanpa ada bantuan dari elemen masyarakat. Ulama dan lembaga keagamaan dalam hal ini berperan vital dalam memberikan arahan kepada masyarakat.

            Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah merilis fatwa terkait ibadah selama Covid 19. Melalui fatwa MUI No. 14 tahun 2020, tertuang poin tata laksana ibadah selama Covid 19 bagi daerah-daerah yang riskan penyebaran virus. MUI juga memberikan rekomendasi kepada Pemerintah serta meminta masyarakat agar tidak ngeyel selama wabah ini dan bertindak secara proposional jika mendapati ada orang-orang suspect atau positif Covid 19.

            Namun dirasa dengan mengeluarkan fatwa saja tidak cukup. Peran ulama dan lembaga keagamaan masih dibutuhkan untuk memberikan terobosan-terobosan di tengah masyarakat. Ulama harus menjadi pilar karena sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia.

            Inovasi selalu muncul ketika manusia dihadapi oleh kesulitan. Dulu, banyak orang yang tidak bisa mengonsumsi cokelat karena harganya mahal. Namun pada 1963, Michele Ferrero dari Italia mencampurkan cokelat dengan gula, minyak, susu dan kacang hazelnut. Hingga lahirlah Nutella yang harganya jauh lebih murah pengganti cokelat.

            Saat ini ulama merupakan figur atau tokoh agama yang dihormati, dikagumi, dicintai, dan petuahnya diikuti dan dituruti oleh masyarakat Indonesia. Di mana ucapan dan perilakunya ditaati dan diterima oleh masyarakat luas. Oleh karena itu, sebagai ulama sebaiknya memiliki kebijakan-kebijakan yang inovatif, partisipatif, dan komprehensif. Harapannya, tentu saja bisa mengisi ruang spiritual masyarakat saat Pandemi ini berlangsung.

            Beberapa lembaga keagamaan sudah menjalankan inovasi homed based learning berbasis online. Hal ini merupakan sebuah terobosan yang perlu pengembangan lebih lanjut. Pengurus Cabang Muhammadiyah Indonesia (PCMI) dan Pengurus Cabang Nahdatul Ulama (PCNU) di luar negeri adalah lembaga keagamaan yang mulai mempopulerkan inovasi tersebut. Demi peningkatan aspek intelektual dan moral bagi generasi muda, tokoh-tokoh agama diundang untuk menjadi pembicara.

Sebagai contoh, di Turki telah bekerjasama dengan Kedutaan Besar Republik Indonesia Ankara (KBRI Ankara). Mereka mengundang ulama-ulama Indonesia ssseperti Prof. Din Syamsudin, Prof. Nazaruddin Umar dan Prof. Quraish Shihab sebagai pembicara.

           

            Inovasi para ulama dalam menyampaikan dakwah saat ini cukup dapat dirasakan, dengan banyaknya informasi-informasi yang disampaikan melalui platform seperti Youtube dan sosial media lainnya. Para ulama juga bisa menyampaikan dakwah melalui daring seperti mengadakan webinar dan lain sebagainya. Pesan-pesan seperti ini penting mengingat bahwa kemajuan teknologi sudah mencakupi segala aspek baik sosial, ekonomi, politik maupun budaya.

            Ulama harus mengerahkan cara agar masyarakat dalam situasi sulit seperti ini, agar masyarakat tidak memupuk pesimisme. Namun inilah saatnya memupuk optimisme untuk terus bergerak, beradaptasi, dan berinovasi menyongsong dunia yang terus berubah. Ulama harus menjadi pondasi kemajuaan bangsa Indonesia kedepannya.

 

Ditulis oleh Cut Meurah Rahman (Pimpinan Umum Konstantinesia)

 

 

 

 

 

 

 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak