unsplash.com/@headwayio |
Ilmu pengetahuan dan teknologi sudah menjadi kebutuhan yang tidak pernah luput dalam kehidupan manusia modern abad 21. Hampir setiap hari kita selalu terhubung dengan jangkauan yang luas, beragam informasi di belahan dunia manapun bisa dilihat dan diketahui hanya dengan mengklik satu jari. Layar LCD dan sambungan kabel bandwith menjadi salah satu alasan dunia seolah-olah ada dalam genggaman kita.
Sebagai generasi yang lahir di tahun 2000-an saya merasa cukup beruntung, terlebih lahir di wilayah urban dengan gegap gempitanya wilayah perkotaan. Arus informasi hilir mudik berdatangan, scroll ke atas menerima hal tentang medis, ke atas lagi mengetahui ada badak yang melahirkan, swipe ke samping membaca sekilas tanggapan netizen pada suatu isu. Di waktu bersamaan ada informasi yang bermutu, namun ada pula yang lebih baik dibuang ke trash.
Dengan demikian, media penyalur informasi memiliki tanggung jawab yang cukup besar dalam menyajikan konten berupa tulisan atau lisan sehingga dapat layak untuk dikonsumsi publik, namun bagi saya kelayakan juga harus terukur dengan jelas. Kelayakan konten baik dalam bentuk lisan atau tulisan setidaknya ada tiga indikator yang mendasari, yaitu valid secara fakta, mudah dipahami, dan enak untuk dinikmati.
Era banjir informasi seperti sekarang, riskan dengan infromasi yang tidak valid, banyaknya headline berita dengan gimmick namun tanpa isi yang substansial atau bahkan menyimpang dari fakta yang ada. Ada pula berita dengan isi yang amat penting, namun sulit untuk dipahami. Sementara itu, membahasakan suatu hal dengan ciamik dan mudah dipahami adalah dua di antara upaya dalam memberi pemahaman yang baik terhadap masyarakat, dengan menyebarluaskan pemahaman yang awalnya hanya dinikmati oleh kalangan tertentu hingga dapat dipahami oleh khalayak umum adalah perwujudan nyata usaha mencerdaskan bangsa itu sendiri.
Contohnya, seperti di era pandemi sekarang, kita butuh informasi yang berkaitan dengan medis dan biologi yang mana biasanya kedua ranah tersebut hanya dikonsumsi bagi para ahlinya saja. Namun karena keadaan yang menuntut, semua orang mau tidak mau harus mencoba untuk memahami istilah-istilah sains yang kerap jauh dari kehidupan sehari-hari. Sayangnya, masih banyak penjelasan yang terlalu berat, menggunakan bahasa tinggi dengan kemasan yang kaku dan membosankan. Walaupun sains atau ilmu pengetahuan memang selalu memiliki sisi ekslusivitas yang sulit untuk dipahami oleh awam namun setidaknya upaya dalam membumikan sains seharusnya mulai pelan-pelan dibudayakan dan diimplementasikan secara marak.
Salah satu bentuk nyata dari komunikasi sains yang baik dan sudah diterapkan di Indonesia adalah, dengan hadirnya channel YouTube seperti Kokbisa, AyoMikir, Hipotesa dan sejenisnya. Mereka menghadirkan beragam penjelasan sains dan ilmu pengetahuan dengan format yang menyenangkan dan sangat mudah dipahami, sehingga siapapun bisa mengaksesnya. Ilmu fisika, biologi, sejarah yang tadinya hanya bisa dipahami segelintir orang, hanya untuk orang-orang yang bersekolah dan memiliki otoritas keilmuan dengan hadirnya channel-channel seperti mereka semua bisa belajar dan mengetahuinya. Ketiga channel YouTube tersebut berhasil mengkomunikasikan sains dengan amat baik, membuka gerbang ilmu pengetahuan yang dulunya terkesan kaku, ekslusif, mahal menjadi terbuka, bebas, dan egaliter sehingga layak untuk dimilik oleh siapapun.
Indonesia butuh lebih banyak lagi agen-agen dalam membumikan penalaran sains, meskipun secara formalitas gelar akademik masih memengaruhi jalan kerja bidang akademis itu sendiri namun oleh karena itulah, menjadi salah satu aspek tantangan bagi orang-orang yang memiliki kesempatan mengenyam pendidikan tinggi dan mempunyai gelar akademik formal untuk bisa menyampaikan ilmu-ilmu mereka dengan layak dan mudah dipahami oleh khalayak. Sehingga ilmu pengetahuan dapat terbuka bebas, bisa dinikmati dan dipahami oleh semua manusia terlepas dari status sosial yang menjeratnya.
Penulis: Salsabila Amalia (Redaksi
Konstatinesia)
Editor: Nadia Alifia M.