Polemik Rektor ITK (Institut Teknologi Kalimantan) dan Bagaimana Diaspora Turki memandangnya

     Pernyataan salah satu reviewer beasiswa LPDP yang juga merupakan rektor di Institut Teknologi Kalimantan, Prof. Budi Santosa Purwokartiko, cukup menjadi bahan pembicaraan yang serius di media massa, pasalnya pernyataannya dinilai rasis dan diskriminatif seperti, menyebutkan wanita-wanita yang mamakai jilbab atau kerudung adalah manusia gurun dan tertinggal jauh di belakang.

     Budi juga menyinggung mahasiswa-mahasiswa yang masih sering membahas soal kehidupan setelah mati dan mengungkapkan kalimat-kalimat langitan seperti, barakallah, qadarallah, inshaallah, merupakan orang-orang yang ketinggalan zaman dan tidak modern sebab, tidak bicara tentang hal-hal yang membumi; apa cita-cita-nya, minatnya, usaha-usaha untuk mendukung cita-cita, apa kontribusi untuk masyarakat dan bangsanya, nasionalisme.

     Dari inti pernyataannya, Budi menegaskan bahwa orang-orang yang masih memegang teguh hal-hal yang berbau agama, merupakan kalangan-kalangan terbelakang dan ketinggalan zaman. "Jadi, 12 mahasiswi yang saya wawancarai, tidak satu pun menutup kepala ala manusia gurun. Otaknya benar-benar open minded. Mereka mencari Tuhan ke negara-negara maju seperti Korea, Eropa barat dan US, bukan ke negara yang orang-orangnya pandai bercerita tanpa karya teknologi,” kata Budi, di salah satu tulisan di akun Facebooknya, Budi Santosa Purwokartiko.  

     Sebenarnya kebebasan berpendapat menjadi salah satu alasan kenapa rektor Institut Teknologi Kalimantan ini berani meng-share salah satu pemikirannya yang dikuatkan dengan hasil wawancaranya ke beberapa mahasiswa tersebut. Di sini kami pun tak mempersoalkan hal tersebut, karena memang kebebasan berpendapat adalah salah satu hal yang legal di negeri kita.

     Namun dengan atribusi yang dimilikinya sebagai pengajar, pendidik; rektor ITK dan Reviewer Beasiswa Pendidikan Dikti dan LPDP Indonesia, membuat pemikiran semacam ini tidak sebaiknya dibagikan ke khalayak umum.  Unggahannya juga dinilai bermasalah, karena secara tidak langsung melakukan  perilaku rasis; pembedaan berdasarkan ras (manusia gurun, Arab), Xenophobic; benci pada orang asing (manusia gurun), bahkan Islamophobia; mengaitkan beberapa diksi agama, dalam hal ini menjadikan Islam kepada sesuatu yang tertinggal dan jauh dari kata modern. Dan semakin problematik saat dia mengaitkan tentang open minded, dengan tulisan yang rasis. Lalu menyatakan mencari Tuhan sebaiknya  ke negara-negara maju.

     Di sini saya ingin memberi pendapat dan sanggahan atas dua hal di atas yang menjadi poin penting dalam kasus ini. Pertama, pemikiran bahwa wanita-wanita yang masih menggunakan jilbab atau kerudung adalah manusia gurun dan  dikesankan terbelakang, jauh dari ilmu pengetahuan. Apakah hal tersebut benar adanya? Faktanya beberapa wanita berkerudung menjadi pelopor dalam kebangkitan pendidikan di dunia. Sebut saja Fatimah Al-Fihri, seorang wanita berjilbab yang mendirikan Universitas pertama di dunia, Universitas al-Qarawiyyin Maroko, pada tahun 859 M (hampir seratus tahun sebelum pendirian Al Azhar di Kairo). Universitas yang terletak di kota tua Fez ini diakui dalam Guinnes Book of World Records sebagai universitas pemberi gelar akademik pertama di dunia.

     Ada juga Dalia Mogahed, perempuan berjilbab pertama yang bekerja sebagai penasihat di Gedung Putih, Amerika Serikat. Perempuan kelahiran Mesir ini, pernah menjadi peneliti di Pusat Penelitian Kebijakan Publik di Washington.  Dari latar belakangnya yang memukau inilah, Presiden Amerika Serikat saat itu, Barrack Obama, memercayainya menjabat sebagai penasihat negara.

     Poin yang kedua, sinisme kepada ajaran agama tertentu, yang mana di sini merujuk pada agama Islam sebab beberapa istilah yang bernada islami  seperti; Insyaallah, Barakallah, Qadarullah, dan sejenisnya  dianggap tidak relevan dengan keadaan dunia sekarang. Dalam hal ini tentunya, pernyataan Budi bernilai asumtif dengan basis yang tidak jelas bahkan melupakan aspek keterkaitannya agama dengan sejarah serta terbentuknya negara Indonesia itu sendiri  yang mana dalam memperjuangkan Indonesia semua agama pun ikut andil  salah satunya islam itu sendiri, kata Allahu Akbar yang bermakna langitan ini juga kerap digaungkan oleh Bung Tomo di beberapa pidatonya guna membakar semangat para pejuang dalam merebut kemerdekaan.

     Dari sini, kita mengetahui bahwa tulisan  Prof. Budi Santosa Purwokartiko, terlihat semacam akumulasi kebencian yang mendalam yang bernilai subjektif tanpa fakta yang akurat. Kemudian dibungkus dengan secuil pengalaman di saat beliau mewawancarai calon penerima beasiswa Dikti dan LPDP yang kebetulan tidak berjilbab. Dan tentu bisa dipastikan hasil penilaiannya tercampuri bias kebencian pada identitas keyakinan tertentu. 

     Sebagai diaspora Indonesia di Turki mellihat polemik tersebut, menurut saya  ada dua point yang bisa dilakukan. Pertama, hal ini dapat menjadi bahan diskusi dan membuka prespektif serta memantik daya kritis yang dimiliki mahasiswa Indonesia di Turki, meski jauh dari Indonesia tidak lantas kami apatis kepada isu-isu politik, sosial dan budaya yang ada di dalam negeri. Kedua, adanya upaya untuk menunjukkan fakta, bahwasanya jilbab dan identitas yang berbau keagamaan bukan penghalang untuk beprestasi, bermanfaat dan ikut serta dalam persaingan globalisasi, melihat mayoritas pelajar-pelajar Indonesia di Turki beragama muslim dan berjilbab dan di saat yang bersamaan mereka belajar di berbagai macam bidang keilmuan, bahkan beberapa di antaranya berprestasi dan menjadi sosok yang  menginspirasi. 

Penulis : Muhammad Rangga Argadinata (Redaksi Konstantinesia)
Editor : Nadia Alifia M dan Salsabila A.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak