Cerpen - Sajak Keabadian


Minggu pagi bukannya sarapan  nasi uduk atau kudapan gurih yang dihidangkan dengan teh manis atau kopi, malah harus berdamai dengan isi  kepala sendiri yang terus menerus berisik. Terlalu berat untuk pagi yang cerah, seharusnya dibuka dengan yang ringan-ringan saja seperti meminum segelas air putih atau jus lemon karena di sini pun tidak menjual nasi uduk beserta  kudapan-kudapan  gurih yang biasanya berpasangan dengan bumbu sinti itu. Adanya paling roti isi keju atau telor orak-arik bercampur irisan bombay dan tomat yang biasa disebut menemen, bukan makanan yang pas untuk lidah nusantara nan ndeso ini.

“Yo, pagi-pagi kok udah bengong!” Cerocos teman serumahku, menghamburkan hayalan.

“Mikir, bukan bengong.” Kujawab sekenanya.

“Ada apa sih? Kangen Lara, tah?”

Aku tidak menggubris ocehannya. Sambil terus menatap layar laptop dan mendengarkan playlist dentingan piano Gardika Gigih, barangkali penat dan cemas yang aku alami dapat reda seketika. Atau paling tidak aku merasa tenang sesaat.

“Aku buatin sarapan deh, biar teman sejawatku ini gak loyo terus.”

“Makan duluan aja, aku masih mau baca.” Tanpa mengindahkan penawaran itu dan terus menatap layar laptop. Mencoba menikmati uraian kasus-kasus klasik yang terjadi di kampung halaman, namun pada nyatanya hanya  menatapnya dengan kosong. Hampa.

Ada saat di mana ragamu sedang duduk diam di depan himpunan kalimat-kalimat yang coba kamu pahami alur dan maksudnya apa, namun jiwa dan pikiranmu melalang buana jauh ke tempat yang tak pernah terjamah. Dan itulah yang sedang menimpaku saat ini, bahkan dari hari-hari kemarin, musim gugur yang datang tidak tepat waktu seperti membersamai luruhnya perasaan yang terus berkecamuk, perasaan kehilangan akan seseorang. Mungkin benar kata temanku, aku sedang dilanda kerinduan akut yang mengendap abadi di relung ingatan dan tidak pernah lekang oleh waktu.

“Halah, wes talah, tak buatin menemen paling enak se-Istanbul. Nyesel kon, kalau gak nyobain.” Ujarnya dengan bahasa Jawa seadanya. Maklum, kalau bukan asli Jawa dan berusaha ngomong Bahasa Jawa, di telingaku yang sebagai orang Jawa tulen terdengar tidak pas.

“Yawes, sakarepmu.” Jawabku singkat.

Gema ‘Pada tiap senja hingga Urip’ Gardika Gigih masih terus melantun dengan merdu menembus dinding-dinding yang sudah agak lapuk, merasuki celah yang karat dan usang. Mereka seolah-olah menikmati alunan piano tanpa pernah menyinggung diriku, yang selalu menyalakan lantunan yang itu-itu melulu.

Mataku masih menatap layar yang berisikan kata-kata dan cerita yang aku juga tidak begitu mengerti maksudnya apa, bacaan yang selalu menjadi pelesir hidupku entah mengapa terasa hambar malah membuat pikiran ini kian kalut, ada apa denganku? Mengapa hari –hari di musim gugur tidak semenyenangkan seperti dulu? Mengapa kerunyaman ini tidak jua usai? Pertanyaan –pertanyaan berkeliaran mengelilingi pusaran pikiranku, aku juga tidak tahu apa jawabannya. Selang beberapa menit, temanku membawa menemen yang katanya ter-enak se-Istanbul itu ke dalam kamar. Kami memang lebih sering makan di meja belajar sambil sesekali berbincang ala kadarnya.

 

“Nih, coba cium aromanya, enak banget toh?” Ujarnya seraya memoncongkan hidungnya dan mengenduskannya ke udara. Bagiku aromanya tidak lebih seperti telor pada umumnya, tidak ada yang spesial.

“Sebentar, tak bawain sendok satu lagi, lali aku.”  Dia kembali ke dapur. Dan aku masih memandang layar dengan tatapan kosong dan pikiran yang melanglang buana.

Sudah berapa lama aku seperti ini? Bahkan kicauan burung dara di bawah gerombolan daun gugur pun tak kuindahkan, sinar mentari yang menyala-nyala di luar sana tidak juga berhasil menghidupkan kembali gairahku, ada apa dengan diriku? Jauh-jauh merantau ke luar negri hanya untuk bersedih dan melamun berlarut-larut.

“Nih, sendoknya Yo.”

“Suwun, cak.” Aku mengambil sendok yang diberikannya.

Selang beberapa saat aku hanya menaruh sendok itu di atas meja.

“Lah, kok kon gak mangan sehh? Sendoknya dipegang doang.”

“Duluan, nanti tak nyusul.”

“Heissh… aku ini bawain sendok buatmu, biar kita makan bareng. Ya opo seh!”

Aku hanya tersenyum kecil menatapnya yang menggerutu di sampingku. Sendok masih aku letakkan di atas meja, menemen yang sudah siap santap juga kuhiraukan.

“Ono opo seh, Yo? Kamu berhari-hari seperti ini, kuliah juga aras-arasen, ono opo?”

“Iyo tah? Aku kayak gini sudah berhari-hari?” Tanyaku memastikan.

“Heshh talah..Aku ini konco kentel kon, meski kamu ke sana ke mari, kuliah, belajar, ngerjain tesis tetep aja tatapanmu itu kosong, sering melamun berjam-jam di depan laptop.”

Cerocosnya sembari menyuap menemen satu demi satu. Rupanya bau kelabu yang coba aku dekap tercium oleh temanku, tak bisa dipungkiri akhir-akhir ini aku memang merasa demikian, tidak seperti dulu, musim gugur yang menjadi musim favorit dari keempat musim itu pun susah aku rasakan kembali keindahannya. Pelik.

“Biasalah ini, galau aja paling.” Aku mencoba menyederhanakan pikirannya.

“Duh, Yo.. galau kamu tuh plus-plus.”

“Maksudnya?” Tanyaku bingung.

“Kalau galau aja, gak sampai satu musim terlewati. Semenjak musim gugur tahun lalu kamu juga selalu begini.”

“Aku pun gak tahu kenapa.” Aku menjawab sendu, sambil menatap jendela di samping kananku. Daun-daun mengering dan berguguran jatuh dengan cepat tersapu angina yang berembus segar, pagi di musim gugur memang selalu menawan. Namun perasaan ’takjub’ yang biasanya tersimpan di hatiku seperti tertidur lelap, semuanya hanya menjadi fragmen masa lalu yang mungkin susah untuk bangkit kembali.

“ Soal Lara, tah? Kamu masih sulit berdamai dengan keadaan?”

Aku bergeming dan mengembuskan nafas panjang. Mendengar nama itu disebut dua kali oleh temanku, aku pikir dia memang benar-benar paham perasaan yang aku rasakan ketimbang diriku sendiri. Nama yang selalu terucap di setiap doa-doa malam yang panjang, nama yang membuat aku merasakan indahnya mencinta dan bercinta sekaligus namun di saat yang bersamaan pula nama yang berhasil membunuh semua gairahku dalam segala hal, nama yang membenciku pada ikatan yang terjalin atas nama jarak.

“Mungkin.”

“Hmm…sudah setahun lebih Yo, toh kamu juga yang memilih untuk tetap kuliah di sini, jauh dari dia. Gaada yang perlu disesali, wes takdir.”  Dia coba menenangkan diriku, upaya yang mungkin sudah beribu kali dia lakukan.

“Iya.” Ucapku lirih. Sesak yang dulu kurasakan kembali hadir aku menangis dalam hati, tidak lucu bila pagi-pagi begini menangis di hadapan teman dan sepiring menemen yang sudah dingin.

“Kita masih punya waktu setahun lagi di sini. Setelah itu kamu bisa langsung balik. Setahun itu sebentar Yo, sabar.”

“Asal sebelum musim gugur aku sudah harus bisa kembali ke sana.” Ujarku mantap.

Itulah yang menjadi targetku. Sebelum musim gugur tahun depan aku sudah harus kembali ke tanah kelahiran, menebus semua perasaan sesal yang tak akan pernah pudar dan berusaha melupakan kesenduan yang diciptakan oleh musim gugur. Musim yang membuatku merasakan pertemuan dan perpisahan dalam satu waktu, musim yang mungkin menjadi musim terburuk yang enggan aku temui kembali.

“Yawes, tak doain lancar semuanya. Aku cuman pengin kamu lebih ikhlas aja Yo, gak perlu seperti seorang Aryo yang dulu, hanya perlu kamu yang legowo, udah cukup buatku, Yo.” Dia menatapku lekat-lekat. Aku meyakini apa yang dikatakan olehnya adalah harapan tulus seorang kawan.

“Susah menjadi orang ikhlas itu.”

“Susah bukan berarti gak bisa, Yo.”

Aku mengangguk, melepas pandanganku pada layar yang masih menyala, ada banyak tab dan tulisan yang terbuka namun tidak kunjung aku baca sampai tuntas. Menekuni bacaan dan sesekali menulis memang menjadi  kegemaran yang sudah aku lakukan sedari dulu, namun akhir-akhir ini aku lebih banyak menghabiskan waktu untuk membaca dan menulis tesis. Tidak ada lagi gairah yang membuatku mengharuskan untuk menulis sajak-sajak ringan seperti dulu.

“Eh, yo kamu dulu suka nulis puisi toh, di blog mu itu? Kok sekarang gak nulis lagi?” Dia berusaha memalingkan topik pembicaraan kami, mungkin baginya mengungkit Lara akan menambah kegundahan di hatiku.

“Sibuk tesis, aku juga gak semangat nulis lagi, gak tahu kenapa.”

“Huh…pusat kekusutanmu ya Lara itu. Meski aku gak pernah ngalamin hubungan kayak kamu gitu, aku ya mencoba berempati sama apa yang kamu rasain, Yo. Tapi jangan sampai ngebuat kamu jadi males lakuin apa yang kamu suka. Aku ini penggemar sajak-sajak puitismu loh, hehehe.” Ucapnya panjang dengan terkekeh.

“Makasih, lo. Tulisanku gak seberapa padahal.” Aku menulis hanya karena aku suka dengan menulis aku bisa meluapkan seluruh pikiran yang tak sempat aku utarakan secara lisan. Sajak-sajak puisiku bermukim di berbagai media massa dari yang popular atau hanya di blog milikku sendiri. Dulu, mengirimkan satu puisi pada Lara adalah hal yang selalu aku lakukan hampir setiap hari, menulis tentangnya dan kuberikan padanya, seorang.

“Nulis lagi, Yo. Aku pengin lihat tulisanmu bertengger lagi di laman-laman media kayak dulu.”

“Puisi, maksudmu?”

“Ya.. apapun. Kamu toh, jago semuanya. Puisi, cerpen, opini bisa kamu tulis, pantes aja Lara kepincut ambe kon, sang pujangga andal. Hehehe.”

Aku hanya tersenyum tipis.

“Yo, keadaan gabisa diubah. Tapi kamu masih bisa mensiasatinya. Dengan menulis mungkin bisa menjadi salah satunya, toh? Pelan-pelan coba nulis lagi.”

Aku tertegun mendengar ucapannya. Selama ini aku menulis karena itulah salah satu cara agar aku bisa mencurahkan segala keresahan dan perasaanku dengan jujur, apa adanya.

“Dulu, kon juga suka nulis buat Lara, toh? Kenapa sekarang gak dilanjutin?”

“Kan, itu dulu.”

“Jarak memang selalu jadi penghalang  di antara kedua orang yang saling mencinta. Tapi kamu tahu gak? Ada penyair yang pernah bilang, ‘Karena sehimpun sajak bisa menebas jarak yang melingkarinya, sebab kata-kata selalu bersemayam dalam keabadian.’  Kamu tau gak penyair yang kumaksud siapa?”

Aku hanya terdiam dan coba menelaah kembali kalimat yang barusan dia ucapkan, sepertinya tidak asing di telingaku.

“Itu sajak yang pernah kamu tulis, Yo. Di musim gugur tahun lalu.”

“Pantes, gak asing di telinga.”

“Yang kamu pernah kasih ke Lara juga, toh?”

“Iya.” Jawabku lesu.

“Yo, jarak yang kamu maksud tidak hanya sebatas wilayah atau negara aja kan? Bebas kan maknanya?”

Aku masih terdiam, tidak menjawab sepatah kata pun.

“ Kamu masih bisa menulis untuk Lara, Yo.”

“Aku merasa gak pantas menuliskannya lagi. Biarkan dendamku pada jarak dibalas oleh waktu saja.”

“Yo, gaada bedanya kamu berdoa dengan menulis puisi. Semuanya sama, dilantukan dalam bentuk kata-kata yang kamu sampaikan dengan tulus, toh? Apa bedanya?”

Aku mengurungkan niat untuk menjawab.

“Sajak yang kamu tulis atau ucapkan itu, Yo. Akan selalu didengar oleh Lara, di manapun Lara sekarang berada. Kamu sendiri yang bilang kata-kata akan selalu bersemayam di keabadian, toh? Aku aja percaya kok.”

Matahari semakin kokoh di puncak, menemen buatannya tersisa separuh, yang mana itu jatahku. Dia pergi sebentar. Dan posisiku tak berubah sedikitpun, duduk diam menghadap layar, menatapnya lesu. Dengan perasaan setengah hati, pelan-pelan aku memberanikan diri mencoba  mengetik kata per kata, merangkainya menjadi kalimat entah bermakna indah atau seadanya, aku hanya sedang mencoba menghidupkan kembali Lara di semesta kata-kata. Entah akan dibaca atau didengar olehnya di seberang nan jauh di sana atau hanya menguap, membersamainya di keabadian.

 

Penulis: Salsabila Amalia (Redaksi Konstantinesia)

Editor : Muhammad Rangga Argadinata

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak