Indonesia Masih Terjangkit Minder dan Inferiority Complex

Source: Unsplash.com

        Monumen Nasional (MONAS) di Jakarta, masih menjadi icon ibukota yang ramai dikunjungi oleh wisatawan lokal maupun turis mancanegara. Banyak turis yang turut berfoto ria bersama di depan MONAS. Sehingga hal itu menjadi kesempatan emas bagi sebagian orang yang tertarik foto bersama para bule, mungkin sebuah kebanggaan tersendiri bila dapat berfoto dengan orang asing. Namun terbesit dalam pikiran saya, apakah bila dibalik, kita orang Indonesia yang berkelana ke negeri-negeri mereka, akankah diperlakukan dengan hal yang serupa? Akankah mereka bangga juga bisa berfoto dengan orang yang bukan asli negaranya?  Hingga diajak foto bersama dan dipanggil-panggil oleh warga lokal, “Hei mister, hei miss, you want to take the photo”, dengan logat asli mereka.

        Ketika saya berkesempatan pergi ke Turki, untuk berkuliah jawaban dari pikiran-pikiran tadi ternyata adalah tidak. Saat di perjalanan menuju Turki yang terbayang, saya dan teman-teman Indonesia lain akan dimintai foto, diajak kenalan dan ekspektasi lainnya sebagaimana yang terjadi kepada bule jika mereka datang ke Indonesia. Namun, ketika baru sampai di bandara saja, tak ada satupun orang Turki yang mendekat meminta foto. Saat salah satu teman dari rombongan yang ingin meminta wifi bandara, malah diajak berbicara menggunakan bahasa Turki, mereka bahkan enggan menggunakan bahasa Inggris kepada orang asing.

        Sampai melewati beberapa tahun dan dari pengalaman teman-teman Indonesia lainnya, belum ada satu pun perlakuan yang kami terima seperti para bule di Indonesia. Lantas terbesit lagi dalam pikiran, apa yang menyebabkan kita (Orang Indonesia) merasa bangga bisa berfoto dengan orang asing, sedangkan orang Turki tidak?

        Saya mendapatkan jawabannya dari pemikiran Sudjiwo Tedjo, seorang budayawan dan seniman legenda Indonesia. Saat ditanya oleh wartawan Good News From Indonesia (GNFI), seperti apakah Indonesia saat ini?  Ia menjawab, “Indonesia saat ini adalah kebanyakan meninggalkan tradisi. Terlalu terburu-buru, terlalu memuja asing. Sampai ketika batik dipakai orang asing, malah kita yang bangga. Mestinya mindsetnya nggak gitu. Kalau kita pe-de, begitu batik dipakai oleh Zidane (Pelatih sepak bola asal Prancis) atau oleh Nelson Mandela (mantan Presiden Afrika Selatan), yang harus bangga itu justru mereka Zidane dan Nelson Mandela. Yang mana dalam hidupnya pernah memakai batik. Tetapi yang terjadi kita yang bangga, 

“Wow lihat Zidane pakai batik, Nelson pakai batik”. Lho, ini berarti kita minder gitu lho, saya kira gitu. “Wow lihat Richard Gere pernah ke Borobudur”, itu semua bentuk ekspresi dari keminderan. Harusnya yang bangga, yang harus bersyukur yah Richard Gere, bintang Hollywood yang berkesempatan mengunjungi Borobudur.”

        Dari pemikiran tersebut, ketika dikaitkan dengan realitas yang saya dapati di Turki, di mana ketika ada orang asing, Indonesia misalkan, yang berbicara bahasa Turki atau mengunjungi destinasi indah di Turki. Mereka bersikap biasa saja atau ‘bodo amat’ justru yang terjadi kebanyakannya warga asing yang bangga karena bisa berbahasa Turki dan dapat mengunjungi tempat-tempat indah di Turki. Ini serupa dengan yang disampaikan oleh Sujiwo Tedjo. Warga Turki jarang menampakkan rasa minder atas budaya yang dimilikinya, mindset nasionalisme yang tertanam kuat memang terlihat jelas oleh sebagian besar masyarakat Turki; mereka sangat senang menggunakan bahasa ibunya sendiri, makanan khasnya, budaya, dan tempat-tempat wisatanya.

        Di saat masyarakat Indonesia berteriak lantang tentang nasionalisme, ironinya di kenyaatan yang terjadi malah mundur dari apa yang diupayakan. Di antara kita masih ada perasaan kurang bangga ketika mengenakan artibut yang berbau ke-Indonesiaan atau minder untuk mengakui dari mana kita berasal. Hal ini terjadi karena kita masih terjangkit Inferiority Complex, suatu keadaan ketika kita merasa lebih rendah, tidak mampu, insecure daripada orang lain, mengacu pada konteks di sini, adalah orang asing.

        Contoh sederhananya seperti yang sudah saya sebutkan di atas tadi, kita merasa bangga ketika orang asing datang ke tempat-tempat wisata di Indonesia, meskipun memang perasaan bangga juga bukan hal yang salah, namun, seharusnya sebagai penduduk aslinya lah yang lebih dulu memiliki rasa bangga terhadap kekayaan budaya, pariwisata dan lainnya. Perasaan bangga itu bisa dimanifestasikan dengan datang berkunjung ke tempatnya, memkaia produk asli dari Indonesia dan memperkenalkan apa yang dimiliki oleh Indonesia kepada orang-orang asing.

        Sedikit kembali ke belakang, dari jejak historis yang Indonesia miliki seharusnya kita sudah selesai dengan permasalahan ‘merasa inferior’, hal ini dibuktikan dari peninggalan-peninggalan sejarah yang luar biasa; kapal Pinisi dari suku Bugis dan Makassar, kapal kayu tanpa paku yang bisa mengarungi lautan sejak beribu tahun lalu sampai ke negara-negara di Asia Timur dan Afrika, dan di saat Indonesia mendapat julukan Macan Asia, ketika puncaknya saat Indonesia memberanikan keluar dari Perserikatan Bangsa-Bangsa di bawah kepemimpinan Presiden Sukarno.

        Tentunya beberapa bukti ini seharusnya tidak lagi membuat kita merasa ‘tertinggal’, ‘minder’, ‘lemah’ hingga berujung ketidakberanian bersaing di berbagai bidang dan merdeka dalam mengekspresikan rasa nasionalisme terhadap bangsa sendiri. Sebagaimana yang pernah dikatakan oleh Presiden Sukarno, “Bangsa yang tidak percaya kepada kekuatan dirinya sebagai suatu bangsa, tidak dapat berdiri sebagai suatu bangsa yang merdeka” Meskipun tidak dipungkiri, bahwa masih banyak permasalahan di Indonesia yang harus diperbaiki,  namun, bukan berarti ‘merasa inferior’ adalah tindakan yang benar juga, toh, dengan memiliki perasaan seperti itu permasalahan yang ada belum tentu selesai dengan baik. Dengan memiliki konsep nasionalisme yang tepat; tetap bangga dengan bangsa sendiri dan terus melakukan perubahan-perubahan yang mengarah pada kebaikan akan berdampak terhadap sikap dan mindset kita dalam memandang bangsa kita sendiri, Indonesia tercinta.

Penulis : Muhammad Rangga Argadinata (Redaksi Konstantinesia)
Editor   : Nadia Alifia M & Salsabila A.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak