Kemerosotan Hukum dan Keadilan di Indonesia; Kronologi Kasus Paidi, Korban Salah Tuduh Pelecehan Seksual

 

sumber: Metro Kaltara.com

 
Pada 31 mei 2022, Paidi dijatuhkan hukuman 8 tahun 6 bulan penjara dengan denda 100 juta rupiah. Dengan tuduhan kasus pemerkosaan terhadap anak di bawah umur ML (16), atas vonis yang dijatuhkan pada warga
Tulang Bawang, Lampung, ini membuat beberapa masyarakat geram dan merasa ada yang janggal dalam kasus tersebut.

Kasus  ini viral setelah keluarga dari Paidi, membagikannya melalui kanal sosial media. Lewat akun tiktok @Nabillaptryyyyyyy, putri dari pihak tertuduh ini membagikan kronologi lengkap serta perkembangan kasus yang terjadi pada ayahnya.

Bermula dari Paidi yang dipesankan oleh ibu ML untuk memberi tumpangan pada (ML) ke tempat kerjanya di salah satu cafe daerah Tulang Bawang, Lampung. Saat itu mobil Paidi diikuti oleh kakak (ML) Suryadi yang mengendarai motor hingga sampai ke cafe dikarenakan tidak tahu letak cafe tersebut. Tidak hanya mengantarkan, bahkan Suryadi meminta tolong kepada Paidi untuk menitipkan ML pada atasan kerjanya.

29 agustus 2021 kakak dari saudari ML, Sarbini. Mendatangi kediaman  Paidi dengan menuduh bahwa terdakwa telah melakukan hal tak senonoh yang dilakukan kepada adiknya. Yang dia ketahui setelah adiknya kesurupan alm ayahnya. Dan dia meyakini bahwa kejadian tersebut benar adanya setelah menanyakannya kepada dukun.

Kemudian,  30 agustus 2021, ML, Sarbini, dan ibunya kembali mendatangi kediaman rumah Pak Paidi namun tidak seperti sebelumnya mereka datang untuk meminta maaf atas tuduhan yang dilayangkan kepada Pak Paidi, Dan meyakini bahwa kejadian tersebut tidak benar adanya.

Namun 1 september 2021 ibu dari ML membuat laporan di Polres Mesuji atas kasus pemerkosaan terhadap anaknya setelah 2 hari dari hari permintaan maaf mereka. Dan di tanggal 20 september 2021 tanpa adanya surat panggilan yang datang Pak Paidi diringkus oleh 13 orang dari Polres Mesuji. Sejak saat itu Pak Paidi mendekam di jeruji besi dan menjalani berbagai pemeriksaan.

Adapun bukti yang diberikan oleh ibu korban ML:

1. Keterangan ML yang sedang kesurupan,
2Hasil visum yang tidak jelas,
3. Baju biasa,
4. Handuk,
5. Dan keterangan saksi yang tidak ada di tempat.

Dalam pasal 184 KUHP menjelaskan bahwa alat bukti yang sah ada 5 antara lain, pertama adanya keterangan saksi. Kedua, keterangan ahli. Ketiga, surat. Keempat, Petunjuk. Kelima, keterangan terdakwa. 

Dari kasus yang menimpa Paidi ini, keterangan saksi yang tidak ikut terlibat dalam kejadian juga diperhitungkan. Padahal berdasarkan kacamata hukum hal tersebut tidak dibenarkan, keterangan saksi yang dimaksud adalah saksi yang melihat, mendengar, dan mengalami langsung kejadian tersebut. Jadi keterangan yang hanya bersumber dari omongan korban atau orang lain itu tidak valid.

Bukti-bukti yang diberikan  pihak terdakwa terbilang cukup kuat untuk dibebaskan dari tuntutan-tuntutan Pengadilan. Akan tetapi dari pihak aparat tidak mau menyudahi kasus ini, dan seakan sengaja memperpanjang masa tahanan Paidi dan memilih untuk menindaklanjuti meskipun kedua belah pihak sudah melakukan perdamaian dan hingga pada akhirnya kasus ini sampai ke Kejaksaan.

Pada tanggal 31 Mei 2022 jam 10, merupakan sidang keputusan, dalam sidang tersebut korban (ML) mengubah beberapa alur kejadian, seperti mengatakan bahwa korban trauma, padahal sebelumnya keterangan mengatakan bahwa korban kesurupan dan beberapa keterangan lainnya yang diubah.

Keluarga terdakwa merasa kecewa karena mereka tidak mengindahkan bukti-bukti yang telah diberikan oleh pihak Paidi dan kecewa atas keputusan yang diambil oleh pihak kepolisian maupun keputusan Hakim karena dinilai memberatkan pihak terdakwa.

Lantas, Paidi dinyatakan terbukti bersalah dan dijatuhkan hukuman selama 8 tahun 6 bulan. Tangis dari para kerabat Paidi serta pendukungnya pun pecah saat hakim mengetuk palu. 

"Terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan pemerkosaan, persetubuhan. Menjatuhkan hukuman penjara kepada terdakwa selama 8 tahun dan 6 bulan, serta denda 100 juta rupiah," kata Majelis Hakim Pengadilan Negeri Menggala, Kabupaten Tulang Bawang, Lampung.

Menyaksikan peristiwa yang mencederai hukum ini, tentunya sangat membuat semua orang, saya sendiri khususnya sangat bersedih dan kecewa atas beberapara hal yang telah dilakukan oleh pihak aparat dan hakim dalam memutuskan hukum kepada Paidi.

Yang mana bila dirunut, kasus ini memiliki kepincangan di berbagai sisinya. Dimulai dari bukti-bukti kurang lengkap, pernyataan pihak korban dan saksi yang seringkali berganti-ganti, sampai perlakuan aparat yang bersikap apatis dan enggan mengkaji kembali bukti-bukti yang diberikan juga menolak beberapa fakta yang ada, seperti pernyataan awal pihak korban yang telah meminta maaf atas tuduhan yang tak sesuai kenyataan.

Kejadian ini pun memperkuat bukti bahwa kondisi penegak hukum (Law enforcement) di Indonesia sedang kritis dan sakit. Juga menjadi implikasi nyata bahwa hukum kehilangan ruhnya yakni keadilan. Alm. Syafi’I Ma’arif pernah menyatakan, jika fenomena ini tidak segera diatasi dan diperbaiki, maka dalam jangka panjang akan mengakibatkan lumpuhnya penegakan hukum di Ibu pertiwi.

Perjalanan penegakan hukum di Indonesia pun sangatlah menghawatirkan, di mana hukum memang tidak diorientasikan pada upaya mewujudkan keadilan, namun cenderung digunakan sebagai alat untuk mewujudkan kepentingan-kepentingan oleh penguasa. Pada masa kolonialisme, hukum digunakan sebagai alat untuk menjajah pribumi. Di masa Sukarno, hukum dijadikan alat revolusi. Masa Suharto, hukum pun dijadikan alat pembangunan. Sampai di masa revormasi saat ini pun, hukum dijadikan alat kekuasaan (Politik).

Penyakit hokum yang masih terjangkit, saya gambarkan dalam dua keadaan. Pertama, penegak hukum menegakkan hukum sesuai koridor yang ada, namun tidak mewujudkan keadilan. Contohnya kasus di atas, dimana pihak Aparat getol menjalan proses hukum tanpa memandang keadilan yang ada. Kedua, penegak hukum menegakkan keadilan tanpa melandasinya dengan payung hukum apapun. Padahal hukum dan keadilan ini seharusnya selalu berada di jalur yang sama. Penegak hukum perlu menegakkan hukum dengan memperhatikan sisi keadilan, begitupula sebaliknya.

Plato mendefinisikan keadilan sebagai the supreme virtue of the good state (kebajikan tertinggi dari negara yang baik). Orang yang adil adalah orang yang mengendalikan diri yang perasaan hatinya dikendalikan oleh akal. Bagi Plato keadilan dan hukum merupakan substansi rohani umum dari suatu masyarakat yang membuat dan menjaga kesatuannya.

Pendapat Plato  merupakan suatu konsepsi tentang keadilan moral yang berdasar pada keselarasan. Keadilan timbul karena pengaturan atau penyesuaian yang memberi tempat yang selaras kepada bagian-bagian yang membentuk suatu masyarakat. Keadilan terwujud dalam masyarakat bilamana setiap anggota melakukan secara terbaik menurut kemampuannya fungsi yang selaras baginya. Peran pejabat adalah membagi-bagikan fungsi dalam negara kepada masing-masing orang yang sesuai dengan bidangnya hingga dapat tercipta keselarasan. Setiap orang tidak mencampuri tugas dan urusan yang tak cocok baginya, campur tangan terhadap pihak yang melaksanakan tugas yang tidak sesuai dengan fungsinya akan menciptakan pertentangan dan ketidakselarasan, dan kedua hal itu dua di antara intisari dari ketidakadilan itu sendiri.

Sebagai masyarakat Indonesia, selalu ada harapan dan upaya yang kita gaungkan bersama dalam mewujudkan kembali keadilan hukum dan kesejahteraan yang menyeluruh bagi seluruh rakyat Indonesia. Upaya yang bisa dilakukan dapat dimulai dari lingkaran terkecil kita, pertemanan sekolah, kampus, organisasi, keluarga dengan saling mentransfer nilai-nilai kebajikan dan keadilan sehingga ekosistem hukum yang sehat pelan-pelan dapat terbangun kembali seperti sebagaimana seharusnya.

 

Penulis : Jutia Kharisma (Reporter Konstantinesia)
Editor : Muhammad Rangga

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak