Meninjau LGBT dari Dua Sisi dan Bagaimana Menanggapinya

unsplash.com/@p__e__r__s__o__n__a

Salah satu isu sosial yang cukup kontroversi yaitu LGBT(Lesbian, Gay, Biseksual, and Transgender) cukup banyak diperbincangkan di laman media sosial hingga ke percakapan tongkrongan, melihat isu ini juga dapat ditilik dalam beragam sisi, dua di antaranya dari segi sosiologis dan psikologis. Pada studi DSM (Diagnostic and Statistic Manual of Mental Disorder), homoseksualitas dianggap sebagai penyimpangan yang termasuk ke dalam gangguan jiwa. Namun, hal ini mendapat kecaman dari para pelaku homoseksualitas itu sendiri, setelah beberapa kali mendapatkan kritikan dari mereka.

Di tahun 1973 APA (American Psychiatric Assosiation) menghapus homoseksualitas dari salah satu kelainan jiwa atau kelainan seks. Perubahan penggolongan dan diagnosis homoseksual juga terjadi dalam PPDGJ II (Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa) tahun 1983, yaitu, hanya homoseksualitas yang penyandangnya merasa terganggu saja yang dianggap mengalami gangguan jiwa (Oetomo, 2001).  Melihat perubahan-perubahan dalam memaknai LGBT dapat memberikan dampak yang besar akan legalitas homoseksual dan LGBT secara umum, apalagi dengan adanya klarifikasi dari para ahli, LGBT bisa dianggap sebagai perilaku yang alamiah dan normal.

Dikutip dari https://databoks.katadata.co.id/ merujuk pada Direktorat Jendral Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri mencatat pada 31 Desember 2021, jumlah penduduk Indonesia mencapai 273,87 juta jiwa. Terdapat 238,09 juta jiwa atau 86,93% penduduk Indonesia yang tercatat beragama Islam pada akhir 2021. Dengan jumlah mayoritas masyarakat Indonesia yang beragama Islam yang mana dalam agama Islam sendiri sudah jelas hukum tentang LGBT dan menganggap LGBT termasuk perilaku yang menyimpang dari fitrahnya manusia juga nilai-nilai keislaman. Dengan begitu, eksistensi LGBT di Indonesia seringkali berbenturan dengan standar nilai dan norma yang ada dalam mayoritas. Namun hal demikian tidak terjadi di negara-negara  dengan standar nilai dan norma yang  yang tidak mengacu pada agama. Sehingga menurut saya, perbedaan –perbedaan nilai dan norma tersebut sebagai aspek yang memengaruhi makna LGBT dalam PPDGJ II( Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa) dan DSM DSM (Diagnostic and Statistic Manual of Mental Disorder).

Merujuk pada  persepektif sosiologis perilaku LGBT disebut sebagai pola perilaku menyimpang dan termasuk ke dalam penyakit sosial. Menurut Soerjono Soekanto,  Lektor Kepala Sosiologi dan Hukum Adat di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, “Perilaku menyimpang disebut sebagai salah satu penyakit masyarakat atau penyakit sosial. Penyakit sosial atau penyakit masyarakat adalah segala bentuk tingkah laku yang dianggap tidak sesuai, melanggar norma-norma umum, adat-istiadat, hukum formal, atau tidak bisa diintegrasikan dalam pola tingkah laku umum.

Adanya kaum LGBT ini sebenarnya dapat mengganggu tegaknya sistem sosial. Ketika terjadi perilaku menyimpang, hal ini dapat mengganggu sistem sosial yang sudah ada dan dapat menimbulkan kekacauan dalam masyarakat. Padahal peraturan dan sistem yang sudah terbentuk bertujuan untuk menjaga konformitas masyarakat terhadap nilai-nilai yang berlaku.

Newsweek.com

Jika dilihat dari dua persepektif di atas, sikap seperti apa yang bisa kita ambil dalam  menanggapi isu tersebut?

Menurut saya, perilaku seksual dan dorongan seksual adalah dua hal yang berbeda. Untuk pelaku LGBT mungkin memang tidak bisa mengendalikan dorongan seksual mereka untuk menyukai sesama jenis. Akan tetapi, perilaku seksual itu adalah pilihan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) perilaku adalah tanggapan individu terhadap rangsangan dan lingkungan. Sehingga tanggapan tersebut berada di bawah kendali individu itu sendiri, bagaimana individu tersebut akan berperilaku atau bertindak adalah sepenuhnya atas kesadaran atas dirinya sendiri meski bisa juga  dipengaruhi oleh faktor rangsangan serta lingkungan namun porsinya minim.

Menanggapi isu LGBT bisa dilihat melalui kacamata yang banyak dari sisi psikologis, sosiologis, biologis, bahkan agama.  Sehingga semuanya memungkinkan bersifat subjektif dan juga tergantung akan nilai-nilai moral yang dianut oleh masing-masing pihak. Namun, bagi saya pribadi perilaku LGBT tidak bisa dibenarkan karena bertentangan dengan nilai dan norma yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Indonesia yang mana saya juga masuk ke dalamnya dan mengamini nilai moralitas yang berlandaskan agama.

Namun, bukan berarti kita berhak untuk menghakimi dan bertindak semena-mena kepada para pelaku LGBT. Melakukan tindakan-tindakan yang melanggar hak mereka sebagai manusia pun tidak dibenarkan. Oleh karena itu, kita pun harus mengerti batasannya dalam bertindak dan berperilaku. Dan demikian pula bagi para pelaku LGBT tidak dapat dibenarkan pula bila mereka memaksakan masyarakat umum untuk mengikuti apa yang menjadi landasan mereka dalam berprilaku.


Penulis :  Rizka Helmalia (Redaksi Konstantinesia)

Editor   : Nadia Alifia Murtafi’ah dan Salsabila A. 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak