Dalam suatu kelompok pasti ada salah satu diantara beberapa orang tersebut untuk dijadikan sebagai acuan atau teladan dalam menghadapi semua masalah-masalah yang timbul dalam realita Orang itu adalah si Pemimpin, dimana orang tersebut diharapkan mampu memimpin diri sendiri, keluarga, dan anggotanya ke arah yang baik. Disinilah dia dituntut atas kearifan dan kebijaksanaan dalam mengambil keputusan agar masalah yang muncul dapat ang mana para pemimpin dan orang yang dipimpin haruslah memahami hakikat memimpin itu sendiri, berikut saya tuangkan beberapa pandangan mendalam tentang hakikat memimpin yang ideal.
Tanggung jawab Bukan Keistimewaan
Ketika seorang diangkat atau ditunjuk
untuk memimpin suatu organisasi, lembaga atau institusi, maka ia sebenarnya mengemban tanggungjawab yang sangat besar sebagai seorang
pemimpin dan harus mampu mempertanggungjawabkannya. Bukan hanya dihadapan
manusia, tapi juga juga dihadapan Tuhan.
Melayani bukan dilayani dan sewenang-wenang
Menjadi pemimpin berarti mendapatkan
kewenangan yang besar untuk bisa melayani masyarakat dengan pelayanan yang
lebih baik dari pemimpin sebelumnya. Maka untuk menjalankan hal tersebut, setiap pemimpin harus memiliki visi dan misi
pelayanan yang baik dan terarah, bagi masyarakat /orang-orang yang dipimpinnya.
Pengorbanan bukan Fasilitas.
Menjadi pemimpin bukan untuk menikmati kemewahan atau
kesenangan hidup dengan berbagai fasilitas duniawi yang menyenangkan, tapi
justru ia harus mau berkorban dan menunjukkan pengorbanannya ketika masyarakat
yang dipimpinnya berada dalam kondisi sulit. Sebagaimana yang
diungkapkan oleh pepatah kuno Belanda, ‘Leiden is Lijden’ Memimpin Adalah
Menderita.
Keteladanan dan kepeloporan, bukan pengekor.
Dalam segala hal baik itu, seorang
pemimpin seharusnya menjadi teladan dan pelopor bagi yang dipimpinnya, bukan malah menjadi
pengekor yang tidak memiliki sikap terhadap nilai-nilai kebenaran dan kebaikan.
Ketika seorang pemimpin menyerukan kejujuran kepada rakyat yang dipimpinnya, maka
ia lebih dulu sudah menunjukkan kejujuran itu.
Efektivitas kepemimpinan seseorang ditentukan oleh kemampuan “membaca” situasi yang dihadapi dan menyesuaikan gaya kepemimpinannya agar cocok dan mampu memenuhi tuntutan situasi tersebut. Penyesuaian gaya kepemimpinan dimaksud adalah kemampuan menentukan ciri kepemimpinan dan perilaku tertentu karena tuntutan situasi tertentu.
Pemimpin sejati juga perlu fokus pada hal-hal spiritual dibandingkan dengan sekedar kesuksesan duniawi. Baginya kekayaan dan kemakmuran adalah untuk dapat memberi dan beramal lebih banyak. Apapun yang dilakukan bukan untuk mendapat penghargaan, tetapi untuk melayani sesamanya. Dan dia lebih mengutamakan hubungan atau relasi yang penuh kasih dan penghargaan, dibandingkan dengan status dan kekuasaan semata. Adapun Empat Kriteria Pemimpin Sejati yaitu:
1.
Visioner: Punyai tujuan pasti dan jelas serta tahu kemana akan membawa para
pengikutnya. Tujuan Hidup Anda adalah Poros Hidup Anda. Andy Stanley dalam
bukunya Visioneering, melihat pemimpin yang punya visi dan arah yang jelas,
kemungkinan berhasil/sukses lebih besar daripada mereka yang hanya menjalankan
sebuah kepemimpinan.
2.
Sukses Bersama: Membawa sebanyak mungkin pengikutnya untuk sukses bersamanya.
3.
Mau Terus Menerus Belajar dan Diajar
(Teachable and Learn continuous): Banyak hal yang harus
dipela ari oleh seorang pemimpin jika ia mau terus survive sebagai pemimpin dan
dihargai oleh para pengikutnya.
4. Mempersiapkan Calon-calon Pemimpin Masa depan: Pemimpin Sejati bukanlah orang yang hanya menikmati dan melaksanakan kepemimpinannya seorang diri bagi generasi atau saat dia memimpin saja.
S sedangankan sifat (moral) kepemimpinan, yang sifat ini sudah diterapkan oleh salah satu pemimpin terbaik sepanjang masa menurut John L Esposito dalam bukunya ‘The 100: A Ranking of the Most Influential Person in History’, dia adalah Nabi Muhhammad SAW. Sifat pertama, Azizin alaihi ma anittum (berat dirasakan oleh Nabi penderitan orang lain). Dalam bahasa modern, sifat ini disebut sense of crisis ( guyub rukun ) , yaitu kepekaan atas kesulitan rakyat yang ditunjukkan dengan kemampuan berempati dan simpati kepada pihak-pihak yang kurang beruntung.
S Secara kejiwaan, empati berarti kemampuan memahami dan merasakan kesulitan orang lain. Empati dengan sendirinya mendorong simpati, yaitu dukungan, baik moral maupun material, untuk mengurangi derita orang yang mengalami kesulitan.
Kedua, harishun
`alaikum (amat sangat berkeinginan agar orang lain aman dan
sentosa). Dalam bahasa modern, sifat ini dinamakan sense of achievement,
yaitu semangat yang mengebu-gebu agar masyarakat dan bangsa meraih kemajuan.
Tugas pemimpin, antara lain, memang menumbuhkan harapan dan membuat peta jalan
politik menuju cita-cita dan harapan itu.
Ketiga, raufun rahim (pengasih dan
penyayang). Allah SWT adalah Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Nabi
Muhammad SAW adalah juga pengasih dan penyayang. Orang-orang beriman wajib
meneruskan kasih sayang Allah dan Rasul itu dengan mencintai dan mengasihi umat
manusia. Kasih sayang (rahmah) adalah pangkal kebaikan. Tanpa kasih sayang,
sulit dibayangkan seseorang bisa berbuat baik. Kata Nabi, “Orang yang tak
memiliki kasih sayang, tak bisa diharap kebaikan darinya.” Wallahualam Bishawab.
Penulis : Zaim Hilmi Musyaffa
Editor : Muhammad Rangga