Kereta Tua di Pegunungan



 

Deru roda kereta tua melaju cepat melewati lembah dan pegunungan yang tertutup kabut tipis. Udara dingin menyelinap dari jendela ke setiap helai kain tebal para manusia yang sibuk dengan aktifitasnya masing-masing. Secangkir teh hangat, kopi, atau sepuntung rokok dirasa dapat menghangatkan sesaat tubuh di musim pertengahan bulan Juni. Intensitas hujan yang tinggi memperparah suasana hati, terutama bagiku, seseorang yang tanpa dekap hangat orang tersayang di sisi. Untunglah perjalanan kali ini ada ibu yang menemaniku bersama, seringkali aku dianggap tak punya teman, tapi ibu adalah teman setia dan terbaik yang pernah kutemui.

Tunggu, atau memang aku belum pernah berteman sampai menemukan sesosok teman setia? Pertanyaan yang tak perlu ada jawabnya.

Saat aku berputar pada pertanyaan yang kubuat sendiri, ujung mataku menangkap seorang lelaki di ujung tempat duduk gerbong kereta tua.. Tas hitam besarnya mengalahkan ukuran tubuhnya, sembari tertidur pulas memeluk tasnya, tepat di hadapannya sebotol es teh yang diselimuti bulir air berjatuhan. Aneh, suasana dingin seperti ini, dia malah mengisi tubuhnya dengan yang dingin juga.

Terlalu fokus dengan pikiranku yang berbicara bagai diskusi riuh di meja rapat, sesekali kereta yang kami tumpangi berguncang mengganggu dengkuran beberapa penumpang. Tangisan bayi ikut menguar kencang memenuhi gerbong kereta tua yang kini sedang ditimang-timang ibundanya. Perjalanan melihat alam menjadi suatu hal yang paling berkesan dalam hidupku. Ketika alam diisi dengan berbagai macam flora dan fauna yang berbeda, tetapi masih bisa hidup beriringan. Namun kenapa kehidupan antar manusia masih saja bertubrukan antar keegoisan pendapatnya masing-masing, pikirku sembari menikmati pemandangan alam dari balik jendela besar kereta.

“ Neng, lagi mikir apaan sih? Pusing banget keliatannya”, tanya ibu, membuyarkan riuhnya pikiran.

“ Eh ngga ada bu. Lagi fokus liat sawah-sawah aja “, jawabku singkat sambil melempar senyum kepadanya, menutup fakta bahwa terjadi keributan di pikiranku.

Pertanyaan ibu berlanjut dengan kisah-kisahnya ketika remaja. Saat celotehan hanya bisa diungkap lewat kertas atau bergosip bersama teman-teman sebaya di tengah sawah dan pinggiran sungai. Tak seperti zaman sekarang dengan kecanggihan internet, siapapun bisa berceloteh ria di laman akun pribadinya dan dibagikan kepada entah siapa yang dikenal maupun tak dikenalnya. Zaman yang ketika itu pula kecantikan seorang wanita mungkin hanya akan diketahui satu desa saja, bukan menjadi standarisasi kecantikan yang bermunculan di halaman depan sampul majalah atau bertengger di lini masa media sosial.

“ Tuh coba deh liat, neng lagi like foto siapa sekarang?”

“ Oh ini foto temen aku bu, udah mah cantik, fotonya juga aesthetic gitu loh bu”

“ Iya ya bagus fotonya, terus kalau udah dilike apa gitu efeknya? “

“ Kalau like nya banyak dia pasti seneng sih bu “, jawabku asal saja.

“ Kayaknya jaman sekarang semua diperlombakan ya neng”.

Aku mengerutkan dahi, tak paham maksud perkataan ibu. Wajah yang dituju hanya mengukir senyum penuh arti, bahkan kini tertawa melihat kebingungan anaknya. Ibu membenarkan posisi duduknya, melipat kain tipis yang sebelumnya menyelimuti tubuhnya, dan menuangkan teh hangat dari termos yang dibawannya. Percakapan antara ibu dan anak remaja nya kembali dibuka lebih mendalam.

“ Mungkin ibu gak paham perihal dunia mu kini neng, tapi coba ibu titipkan pesan sebelum kamu menginjak usia dewasa”, ucap ibu sembari menghela nafas dalam

“ Ketika ucapan lewat lini masa media sosial kini lebih menyakiti hati ketimbang ucapan langsung bertatap wajah, kamu juga akan merasakan kebahagiaan ketika ratusan bahkan ribuan orang mengetukkan jari jemarinya di tanda like ujung fotomu daripada yang menghargaimu secara nyata. Mungkin hanya segelintir orang yang kamu kenal dengan pernah berjumpa-bercengkrama bersama, tapi lebih banyak lagi orang yang tak pernah kamu tau siapa dan dimana mereka berada. Di masa sekarang dan yang akan datang, sekekeliling kamu akan berwarna putih, hitam, bahkan samar menjadi abu-abu, cuman dirimu seorang yang tetap harus bertahan mewarnai dirimu sendiri dan jika kelak kamu mampu, cobalah memberi warna juga pada orang lain. “

Hatiku meronta mendengar ucapan ibu, serapih apapun aku menutupi ketakutanku, namun hanya ibu yang mengerti perasaanku. Air mataku tak mampu lagi ku bendung, berulang kali aku menyeka bulir air mata yang berjatuhan dengan ujung kerudungku, tangan ibu menghampiri pipiku, mengusapnya lembut. Ibu memelukku dengan dekap hangatnya, menyandarkan kepalaku ke bahunya. Ibu berkata lirih di telingaku, “ dunia akan baik baik saja ”

Ibu menegakkan bahuku, menyejajarkan matanya dan mataku. Tatapannya sendu dengan mengulum senyuman khasnya.

“ Nih minum dulu tehnya mumpung masih hangat, setelah ini ibu akan melanjutkan dengan cerita“

Aku menenggaknya habis dengan cepat, tak peduli rasa panas yang menjalar seketika di lidahku. Rasanya sudah tak sabar menantikan cerita selanjutnya dari ibu.

Tak berselang lama, kereta tua yang kami tumpangi berhenti mendadak di sebuah hamparan padang rumput yang sedang disantap lezat puluhan sapi ternak, sejauh mata memandang gemercik sungai, dan cahaya redup petang hari mengsyahdukan suasana sekelilingnya.

Masinis kereta mengumumkan perihal pemberhetian yang dialami mendadak melalui pengeras suara di ujung gerbong kereta tua, membuat seorang laki-laki yang sejak awal tertidur pulas tetiba terbangun mebebelakan matanya.

"Para penumpang yang terhormat. Kami sampaikan permohonan maaf dengan berhentinya kereta secara mendadak dikarenakan 50 meter tepat di depan kereta terdapat rombongan sapi yang sedang menyebrangi lajur kereta. Terima kasih atas perhatiannya. “

Gelak tawa aku dan ibu tak dapat tertahankan, ada-ada saja kejadian yang kami alami. Beberapa penumpang lainnya ada yang ikut tertawa, namun ada yang juga mengomel mempermasalahkan alasan yang katanya “tidak jelas” ini. Bahkan ada yang tetiba mengeluarkan gitar sembari bersenandung ria bersama kawan-kawan sebayanya dengan memakai jaket almamater universitas.

“ Oke neng, udah siap dengar cerita? “ tanya ibu terlihat antusias.

“ Siap bu komandan “, kataku sambil membentuk tangan hormat kepadanya.

“ Dulu pas masih muda, ibu pernah ikut karang taruna di desa. Pokoknya yang kepilih ikut organisasi itu keren bangetlah, ya contohnya ibu”, senyum ibu melebar. Pamer.

“ Ibu pede banget ihh “, kataku mengejek.

“ Hehe bercanda, ikut karang taruna bukan buat jadi siapa yang paling keren. Ibu cuman pengen belajar gimana sih cara berorganisasi. Entah itu di bawah pimpinan seseorang atau menjadi seorang pemimpin. Cara berkomunikasi yang baik dan terarah dengan orang lai, ya walaupun yang ikut karang taruna mah teman-teman main ibu yang biasa ke sawah ngala belut jeung tutut“.

Aku tertawa terpingkal mendengar logat sundanya, maklum ibu memang asli orang Ciamis. Sembari ibu melanjutkan ceritanya, kereta perlahan melaju kembali menyusuri padang rumput yang kini telah penuh dengan sapi-sapi gembala. Para gembala sapi melambaikan tangannya dan berkata lirih permohon maaf karena mengganggu perjalan para penumpang kereta.

“ Di awal masa organisasi, ibu dan teman-teman mah kan sudah saling kenal, jadi kita pede aja tuh bisa mengemban amanah setahun kedepan, udah yakin pokoknya mah kalau punya satu visi-misi yang sama. Tapi ternyata keyakinan kita itu yang jadi permasalahannya, Neng.” Ibu menghela nafas berat mengingat masa-masa itu

“ Manusia itu dinamis. Itu yang dibilang Aki ke Ibu, Ibu melupakan hal itu, neng. Sifat dan karakteristik teman-teman ibu yang gak pernah terlihat sebelumnya ketika kita dulu main bersama, ternyata nampak perlahan demi perlahan di karang taruna. Sifat egois dan keangkuhan yang bikin kita sama-sama capek. Nangis dan marah yang gak berujung udah jadi makanan sehari-hari yang dirasa di hati. Kita lupa buat memahami dan terus menerus memaklumi apa yang salah, tapi enggan untuk berdiskusi menyelesaikan sumbu permasalahannya, yaitu yang dimulai dari kita sendiri.”

Ibu diam sejenak, kisah yang diceritakannya mengalun masuk ke dunia masa lalunya. Cahaya petang sayup-sayup menyelisir dibalik jendela, menyirami wajah ibu yang kini sedang memejakan matanya sejenak lalu dilanjutkan dengan ukiran senyuman tulusnya.

Ibu membuka matanya, mulai melanjutkan kembali kisahnya. Aku membenarkan posisi duduk, memperhatikan ibu lebih seksama

“ Api tak semudah itu padam dengan air, neng. Amarah dan keegoisan masing-masing sudah sampai puncaknya ketika teman-teman ibu, satu persatu menghilang dari amanahnya di karang taruna, tanpa alasan pasti dan menyisakan segelintiran orang di dalam keorganisasian. Kami kembali merapat, menguatkan apa yang telah hilang, berbincang dari hati ke hati. Ketua karang taruna saat itu bilang, ‘Apa yang sudah kita mulai diawal, maka kita selesaikan sampai akhir. Sudah terlalu banyak warga desa yang berharap dari organisasi para pemuda ini akang teteh. “

“ Ibu bukan mau menggaris bawahi jangan percaya orang lain meski itu teman kamu sendiri. Tapi yang ingin ibu pesankan ke kamu, apakah kita terlalu banyak menaruh harap kepada orang lain, sampai lupa kalau manusia itu mudah saja untuk berubah-ubah. “

Aku menganggukan kepala. Setuju. Menaruh harapan yang tak pasti pada seorang manusia memang mampu melelahkan hati, tapi ketika kita sudah sepenuhnya menaruh harapan pada Sang Kholiq, rasanya tenang dan tak perlu dikhawatirkan sedikit pun.

“ Satu hal lagi neng, sejatinya kita sebagai manusia itu memanglah memikul amanah sejak dalam kandungan. Tapi mungkin kita baru merasa berat ketika memasuki usia dewasa dengan segala hiruk pikuk perjalanan hidup. Kelak bisa jadi amanahmu akan semakin beragam yang menghampiri dirimu, saat banyak amanah yang kamu pikul, pilihannya bukan memprioritaskan satu amanah dan meninggalkan yang lainnya. Tapi lakukanlah amanah-amanah itu satu persatu dan adil.”

Aku belum pernah sedalam ini berbicara dengan ibu. Ibu dengan kesehariannya yang periang dan selalu ceria mengurus aku dan dua adikku di rumah, tanpa lelah membagi waktu, tenaga, dan kelapangan hatinya untuk keluarga. Seringkali, aku melihat ibu dan ayah bercengkrama berdua di meja makan, seolah menceritakan kisahnya masing-masing. Kini nampaknya cerita-cerita itu akan perlahan dibagikan kepadaku.

Banyak lagi kisah yang ibu ceritakan, sampai kantuk hinggap, seketika itu pula ibu mulai iseng menggelitik perutku. Kami tertawa terlalu kencang, bahkan seisi gerbong kereta menoleh ke arah ibu dan aku secara bersamaan. Canda tawa bersama ibu menjadi pemantik semangatku setelah satu semester ini bersekolah asrama di daerah pegunungan. Kembali ke rumah di kota dan keramaian yang kurindukan, kota hujan dengan mobil angkutan hijau yang menghiasi setiap sudut kota.

Kereta tua dengan beberapa hiasan berkarat di kiri-kanannya, berhenti di stasiun akhir. Di sini juga aku dan ibu turun untuk melanjutkan perjalanan sebelum benar-benar tiba di rumah. Aku berjalan berdampingan dengan ibu sembari menggeret koper di tangan kiriku. Tangan kananku memegang hp dan mulai mencari aplikasi taxi online. Mataku masih fokus menatap hp sambil berbicara ke arah ibu

“Bu, abis ini kita naik taxi online aja ya ke rumah”, tawarku agar lebih efisien dan tak buang waktu.

“ Coba neng liat dulu tuh ada siapa”. Bukannya menjawab, ibu menunjukkan sesuatu.

Kepalaku mendongak, melihat sekeliling stasiun, entah mencari siapa. Tak lama aku melihat ayah dan dua adikku melambaikan tangan ke arah kami. Aku berlari meninggalkan ibu dan koperku jauh di belakang, memeluk dua adik kembarku dan ayah.

“ Duh si neng kopernya ditinggal gitu aja”, kata ibu mendengus kesal.

“ Hehe maaf ya ibu sayang, kaget banget loh aku dijemput ayah sama adek-adek. “

Suara rinai hujan tipis-tipis menyambut kedatangan kami di luar stasiun kereta. Iringan pemain biola di jalan melantunkan lagu dengan syahdu, menutup malam di kota penghujan ini.


Penulis: Nadia Alifia M.

Editor: Muhammad Rangga

1 Komentar

  1. keren begini hei cerpennya, menemani pria nestapa kesepian di penghujug malam menunggu balasan kepastian perasaan yang tak pernah ia ungkapkan.

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak