Sehari sebelum RKUHP disahkan banyak kalangan masyarakat berdemo di depan gedung DPR, menyuarakan keresahan atas pasal-pasal yang bermasalah, terutama pasal yang membatasi kebebasan berpendapat, mengatur ruang privat, dan melanggengkan korupsi. Dan tepat besokanya, Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau RKUHP resmi menjadi KUHP pada 6 Desember 2022 oleh komisi III DPR RI. Meski banyak respon penolakan dari berbagai koalisi masyarakat sipil, sebab beberapa pasal bersifat kontroversi dan penuh ambiguitas yang seharusnya perlu dikaji ulang atau direvisi. Sayangnya suara masyarakat tidak sampai di hati dan pikiran para pemangku kekuasaan.
Singkat sejarah RKUHP
Dalam buku Dasar-Dasar Hukum Pidana di Indonesia, karya Dr. Fitri Wahyuni,. S.H.M.H, dijelaskan bahwa KUHP yang berlaku di Indonesia sebelum disahkannya RKUHP terbaru, ialah warisan hukum kolonial Belanda. Yang notabenenya sudah berlaku di Indonesia sepanjang satu abad lebih, memiliki nama asli Wetbock van Strafrecht voor Nederlansch Indie atau WvSNI.
Regulasi ini berlaku di tanah Hindia Belanda lewat Kninklijk Besluit (Perintah Raja Belanda – Invoeringsverordening) nomor 33 pada Oktober 1915 dan mulai berlaku pada 1 Januari 1918. WvSNI sebetulnya merupakan produk hukum turunan dari Wvs Belanda yang dibuat pada 1881 dan berlaku pada 1886. Ketika memasuki era kemerdekaan Indonesia pada 1945, agar tidak terjadi kekosongan hukum pidana nasional, maka WvSNI ini diadopsi menjadi hukum nasional yaitu Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946 tentang peraturan Hukum Pidana. Pembaruan KUHP mulai muncul keinginannya sejak 1958, ditandai dengan munculnya LPHN ( Lembaga Pembinaan Hukum Nasional) selanjutnya juga diselenggarakan Seminar Hukum Nasional I pada 1963 dengan banyaknya tuntutan untuk merumuskan KUHP baru.
Dan pada September 2019 lalu RKUHP berencana disahkan namun unjuk rasa di depan gedung DPR menyebabkan penundaan hingga akhirnya RKUHP kembali ditinjau sembari revisi terhadap pasal yang bermasalah. Meskipun pada akhirnya pasal-pasal bermasalah itu disahkan tahun ini tanpa pertimbangan apik dan pengkajian yang saksama sehingga banyak masyarakat yang tidak setuju dan memprotes.
Beberapa pasal-pasal problematik yang perlu diketahui:
1.
Pasal 218 tentang penghinaan presiden dan lembaga pemerintahan
Bunyi
Pasal 218 ayat (1) adalah: (1) Setiap orang yang di muka umum menyerang
kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana
denda paling banyak kategori IV.
Pasal 240 dan 241 tentang
penghinaan terhadap pemerintah
Bunyi
Pasal 240 adalah Setiap orang yang di muka umum melakukan penghinaan terhadap
pemerintah yang sah yang berakibat terjadinya kerusuhan dalam masyarakat
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda
paling banyak kategori IV.
Pasal 241 disebutkan Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penghinaan terhadap pemerintah yang sah dengan maksud agar isi penghinaan diketahui umum yang berakibat terjadinya kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V.
2. Pasal penyebaran paham yang bertentangan dengan Pancasila
Pasal 188 ayat (1) Setiap Orang yang menyebarkan atau mengembangkan ajaran
komunisme/marxisme-leninisme atau paham lain yang bertentangan dengan Pancasila
di muka umum dengan lisan atau tulisan termasuk menyebarkan atau mengembangkan
melalui media apa pun, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat)
tahun. Dalam penjelasan Pasal 188 ayat (1): disebutkan yang dimaksud dengan
'menyebarkan atau mengembangkan' adalah mengajak orang lain menganut paham
komunisme atau Marxisme/Leninisme atau paham lain yang bertentangan dengan
Pancasila dan menjadikannya gerakan kelompok yang bertujuan menentang nilai
Pancasila.
3.
Pasal tindak pidana korupsi
Pasal 604 tentang tindak pidana korupsi yang menyebutkan, Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit kategori II dan paling banyak kategori IV.
Melihat pasal-pasal di atas bisa dinilai bahwa unsur kolonialisme masih erat dan sangat jauh dari perkembangan dunia politik yang demokratis, negara ini sudah dibatasi hak-haknya dalam bersuara dan berpendapat, demokrasi yang digaungkan hanya akan menjadi jargon semu belaka akibat pasal pelarangan penghinaan presiden dan lembaga pemerintah, yang tidak dapat penjelasan secara konkret apa ukuran penghinaan atau penyerangan lembaga pemerintah indikatornya tidak jelas sehingga sangat mudah sekali menyerang siapapun yang mengkritisi kebijakan presiden serta jajaran birokrasi lainnya.
Belum
lagi pasal yang membatasi ilmu pengetahuan, dengan tidak dibolehkannya
menyebarkan atau mengembangkan ajaran-ajaran selain Pancasila yang mana
dikursus Marxsisme, Fasisme, Leninisme dan sejenisnya sejatinya sudah sangat
lumrah dibahas di lingkaran diskusi informal dan formal hari ini. Begitu juga
pasal tentang tindak pidana korupsi, yang seharusnya bisa dihukum dengan
hukuman minimal yang sepadan namun malah meringankan. Keadilan terkesan sangat
jauh dari politik hari ini. Dan masih banyak lagi pasal –pasal yang bermasalah,
bahkan Indonesia Criminal Justice Reform (ICJR) setidaknya menemukan ada
sekitar 73 pasal dalam RKUHP yang perlu pengkajian ulang.
Perlukah kita bersuara, mengapa?
RKUHP yang sudah sah menjadi undang-undang memang akan diberlakukan tiga tahun kedepan namun jika tidak melakukan banding ke MK (Mahkamah Konstitusi) undang-undang karet ini akan resmi dipakai dan berdampak bagi semua elemen masyarakat tak terkecuali pelajar diaspora yang menuntut ilmu di luar Indonesia. Dampaknya mungkin bukan saat sekarang tapi masa depan kehidupan bernegara kita akan sangat terpengaruh oleh undang-undang yang diresmikan saat ini. Biasanya, semakin jauh kita dari Indonesia sikap apatisme bisa sangat mudah dilegitimasi, padahal suara-suara kita semua di sini sangat berarti dalam berjalannya demokrasi di Indonesia.
Perlu kita ingat, masih ada teman-teman, keluarga, sahabat, pasangan, dan orang-orang terkasih yang hidup dalam territorial negara kita, Indonesia tercinta. Jika undang-undang yang berlaku memiliki pasal-pasal karet nan problematik maka mereka semua bisa dengan mudah dikriminalisasi, dihukum, dipenjara akibat melanggar sesuatu yang padahal hal tersebut bukanlah termasuk pelanggaran. Ruang mengkriminalisasi publik jadi lebih luas.
Oleh karena itu,
kita perlu untuk menambah dosis dalam memahami dinamika perpolitikan Indonesia,
politik tidak hanya dimiliki oleh pegiat politik, akademisi politik, atau
politikus andal. Politik milik semua makhluk yang hidup di dalam teritorial
politik yang disepakati secara bersama, dan teritorial dalam konteks ini adalah
Indonesia. Selama kita pernah dan masih akan kembali ke kampung halaman, kita
berhak menyuarakan kebenaran dan memperjuangkan hak-hak rakyat untuk
mendapatkan undang-undang yang bisa melindungi bukan mengkriminalisasi, yang
berpihak pada rakyat bukan penguasa. Cara-cara yang dilakukan bisa beragam hal
tidak perlu terkesan wah atau besar, cukup kecil namun masif, bisa dengan
tulisan, video, repost postingan, atau menyebarkan
#semuabisakena, #revisirkuhpngawur, dan sejenisnya. Suarankahlah kebenaran di
manapun kita berada selama masih ada kuota dan jari jempol kebenaran
sekecil-kecilnya layak digaungkan, sekecil apapun kepedulian kita akan
berdampak besar bagi kemajuan demokrasi dan arus perpolitikan bangsa. Merdeka
bersuara, merdeka berpendapat, suara rakyat tidak boleh dibungkam!
Penulis: Salsabila
dan Rangga
Editor: Salsabila