Media dan Ingar Bingar Politik

Photo by <a href="https://unsplash.com/@jontyson?utm_source=unsplash&utm_medium=referral&utm_content=creditCopyText">Jon Tyson</a> on <a href="https://unsplash.com/photos/49ybMyLB7HM?utm_source=unsplash&utm_medium=referral&utm_content=creditCopyText">Unsplash</a>
https://unsplash.com/

Media massa atau media digital saat ini tengah gencarnya memberi kabar tentang perhelatan akbar di beberapa negara dengan landasan demokrasi. Sebab tak lama lagi kita bakal mendapati wajah-wajah tersenyum  jempol di beberapa tempat lalu lalang. Konser-konser dengan alunan musik dan hiburan dari para artis, ikut menghiasi pesta jual janji para orang terhormat. Hal ini menjadi langka dikarenakan cuma bisa menikmatinya beberapa tahun sekali. Tidak lupa pula kaos dan atribut gratis lain yang berseliweran di mana-mana. 

Momen ketika orang ataupun sebuah partai, berlomba-lomba dalam merebut hati masyarakat, agar di hari pemilihan mereka bisa mendapatkan suara terbanyak. Dengan dasar, pemilu adalah alat untuk menerjemahkan kehendak umum para pemilih menjadi pemerintahan perwakilan. Untuk mencapai tujuan ini, perlu semua partai dan kandidat dapat menyampaikan program-program mereka secara bebas kepada para pemilih selama masa kampanye pemilu. Tentu dengan syarat dan ketentuan yang berlaku di negara tempat pemilihan umum bakal berlangsung.

Dalam hal ini mereka tentu saja menggunakan segala alat yang mereka punya, terlebih khusus media massa ataupun digital. Di mana media telah digunakan sebagai salah satu senjata paling ampuh dalam mengkampanyekan sesuatu sejak zaman sebelum masehi.

Kampanye sendiri, atau juga biasa disebut alat propaganda telah menjadi aktivitas manusia sejak masa lampau, memiliki arti kerja pemasaran untuk membuat orang tertarik pada produk yang ditawarkan. Maka dalam berpolitik, yang ditawarkan adalah produk politik, yang mana produknya berisi visi misi dan program kerja yang akan menentukan baik buruknya para pemilih jika memilih si orang yang berkampanye.

Di masa sebelum masehi, propaganda disebarkan melalui media tulis saat itu mulai dari prasasti batu maupun dedaunan. Seperti dalam prasasti Behistun (c.515 SM) menyebut naiknya Darius I di tahta tertinggi Persia, dianggap oleh sebagian besar sejarawan menjadi contoh awal adanya propaganda. 

https://unsplash.com/

Berlanjut ke masa Reformasi, propaganda ini memasuki era baru dengan adanya bantuan oleh penyebaran media cetak di seluruh Eropa, terkhusus di Jerman. Tahun 1450, ketika mesin cetak ditemukan, maka muncul pula propaganda ide-ide baru, pikiran dan doktrin yang disebarkan secara umum dengan cara yang belum pernah terlihat sebelum abad keenam belas. 

Pada masa peperangan (Perang Dunia 1, 2, perang dingin blok barat dan timur) menjadi awal mula berkembangnya propaganda yang memiliki konotasi negatif. Seperti contoh propaganda Nazi Jerman, yang mempengaruhi kebencian eropa kepada Amerika dan Yahudi, dengan memaksa semua wartawan, penulis, dan seniman agar masuk ke salah satu ruang bawahan Kementerian bagi pers, seni, musik, teater, film, sastra, atau radio Nazi.  

Atau yang dilakukan beberapa tokoh nasional Indonesia saat itu, menyebarkan semangat kemerdekaan melalui media cetak maupun media radio,  seperti; surat kabar pertama yang dicetak oleh bangsa Indonesia, Medan Priayi, diterbitkan oleh R.M Tirtoadisuryo tahun 1907, Mohammad Hatta yang membina koran PNI baru, Daulat Rakjat, ataupun Ismail Marzuki yang menyebarkan lantunan lagunya melalui Radio Republik Indonesia (RRI). 

Kampanye yang ada saat ini, sudah sangat serba modern dan tentunya lebih banyak memiliki sisi gelap dibanding propaganda yang ada di masa peperangan. Sebagaimana dikenal Black Campaign (Kampanye Hitam), sebuah upaya untuk merusak atau mempertanyakan reputasi seseorang, dengan mengeluarkan propaganda negatif. Yang dilaksanakan menggunakan berbagai media yang ada seperti media mainstream ataupun media sosial. Namun kendati demikian sudah ada beberapa negara yang memberikan peraturan ketat terkait kampanye ini. 

Seperti contoh peraturan kampanye di Turki, sebagaimana yang tercantum di Undang-Undang Turki tentang Pemilihan Presiden, pasal 13 dan 14, yang menjelaskan sebuah larangan berkampanye di media massa (televisi dan radio Turki) tanpa adanya filterisasi dari Dewan Pemilihan Tertinggi dan Perusahaan Media Massa tersebut, tentang ketidakberpihakan dan kesetaraan sepenuhnya.

Juga larangan menerima sumbangan atau bantuan dari negara asing, organisasi internasional, badan hukum, dan orang lain yang bukan warga negara Turki. Atau boleh mendapatkan sumbangan dari warga Turki, tetapi tidak boleh melebihi jumlah bruto satu bulan dari semua jenis pembayaran yang didapatkan pada umumnya oleh warga sipil.

https://unsplash.com/

Di Indonesia sendiri hampir menyerupai Amerika Serikat, di mana kampanye menggunakan media seringkali dijadikan ujung tombak oleh para kontestan pemilu. Seperti contoh ketika pemilu Amerika Serikat pada 1992, Hillary Clinton menjadi bulan-bulanan media disebabkan salah ucap, atau sengaja mengucapkannya atau karena ketidaktahuannya bahwa apa-apa yang dikatakannya bakal berpengaruh besar dalam proses kampanyenya.

Di mana ia berkata,”saya bukan perempuan tak berdaya yang berdiri di samping lelakinya sebagaimana Tammy Wynette”. (Tammy Wynette adalah seorang penyanyi yang memiliki lagu Stand by Your Man, yang akhirnya dikecam oleh kaum feminisme sebab liriknya yang berisi saran agar wanita memaafkan lelaki yang tak bertanggung jawab). Pernyataan ini dikritik berbagai media karena dianggap tak menghormati para istri yang bekerja sebagai rumah tangga.

Hal ini juga terjadi di Indonesia, seperti contoh pada perhelatan pemilihan umum 2019, yang mana tercatat di bulan pemilu (April) isu negatif yang beredar di media mainstream dan media sosial terbagi menjadi dua. Sekitar 5000 perbincangan yang menjatuhkan paslon nomor 1 dan 2000-an isu negatif yang mengarah ke paslon nomor 2. Fenomena tersebut juga tak hanya didapati di media massa dan digital saja, namun di lapangan banyak isu negatif yang berkeliaran melalui media poster-poster, baliho, stiker kendaraan dan lainnya.

Belum lagi suasana kampanye di lapangan yang sudah menjadi rahasia umum, kalau kampanye ini bukan lagi menjadi alat untuk menawarkan dan menjelaskan program politik yang akan dijual. Namun menjadi ajang saling membenci satu sama lain, dengan orasi berapi-api para calon yang berkampanye namun dibungkus dengan satiran dan cacian menjatuhkan lawan yang tersirat. 

  Kampanye negatif dengan berbagai media ini sudah banyak menyakiti perasaan, memutuskan hubungan pertemanan, bahkan tak sedikit keluarga yang retak disebabkan oleh hal tersebut. Di mana media seharusnya tidak hanya melaporkan kegiatan politik seperti kampanye saja, tapi juga memberi panduan bagi pemilih untuk menentukan pilihan dengan cermat. Media diharapkan mampu menyampaikan kepentingan publik secara obyektif, tidak hanya mengizinkan, memiliki akses ke media. Media harus secara independen merefleksikan struktur pluralis seluruh masyarakat yang dapat menginformasikan, mencerahkan dan mendidik publik. Media harus menyediakan platform dan forum untuk perdebatan tentang isu-isu kontroversial, serta mengangkat perilaku personal politisi, pejabat pemerintah, pemimpin masyarakat.

Sebagaimana yang telah kami sebutkan sebelumnya, bahwa kampanye dengan menggunakan media ini merupakan ajang menawarkan produk diri masing-masing, layaknya media untuk jual-beli online. Yang jika suatu barang dibeli, maka manfaatnya akan dirasakan oleh si pembeli. Bukan menjual kabar kebencian tentang lawan yang akan dihadapi, sebab jika menyerang lawan artinya mengajak orang lain agar tidak memilihnya. Apakah kalau publik tidak memilih pihak lawan, otomatis mereka bakal memilih pihak yang menyebarkan kabar kebencian? Tidak mesti. Boleh jadi mereka bersikap untuk tidak memilih dan mengeluarkan suaranya, dikarenakan kampanye hitam yang dikeluarkan masing-masing kontestan politik, menjadi senjata makan tuan yang menjelekkan satu sama lain.

  Padahal pemilu yang menjadi sumber adanya kampanye ini hanyalah proses dari demokrasi. Sayang sekali bila demokrasi yang dalam KBBI -‘Gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara’- menjadi hilang esensinya sebab kampanye tersebut.

Maka sudah sepantasnya makna awal dari kampanye yaitu menawarkan produk politik agar bisa dipilih, bukan menjadi ajang membenci dan menjelek-jelekkan satu sama lain. Dapatkah hal itu kembali? Sepertinya sulit, terkhusus di negara Indonesia kita, di mana kampanye ini sudah ramai sejak pemilu 2009 lalu dan terus muncul walaupun perhelatan pemilu usai. Bukan lagi tentang peraturan yang mesti ditetapkan, namun moral persatuan dan persaudaraan mesti ditegakkan. Bhinneka Tunggal Ika. 


Referensi: 

1. Ahmad Faishol, d.k.k, 2010. Media, Pemilu, Dan Politik. Jakarta: Institut Arus Studi Informasi 

2. T.C. CumhurbaÅŸkanlığı Mevzuat Bilgi Sistemi.2012. "CUMHURBAÅžKANI SEÇİMÄ° KANUNU", https://www.mevzuat.gov.tr/, diakses pada Senin, 01 Mei 2023, 22.34 WITA. 


Penulis : Muhammad Rangga
Editor : Muhammad Sobrun Jamil

2 Komentar

  1. Halo min. Kalau boleh saran, buat tulisan2 ringan, 500 kata aja, tapi topik nya mengarah ke hal yg spesifik. Topik di atas saya rasa masih terlalu general. Terima kasih

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak