Feminisme vs Patriarki : Fenomena Memperebutkan Hak dan Melupakan Kewajiban

Sumber : https://www.shethepeople.tv/art-culture/origins-of-patriarchy/

        Stereotip sosial antara perempuan dan laki-laki di zaman ini seringkali menyulut isu  feminisme dan patriarki. Pemikiran bahwa perempuan tidak perlu mengenyam pendidikan tinggi karena karirnya akan berakhir di dapur, mengurus anak dan bersih-bersih di rumah. Setinggi-tingginya perempuan bermimpi, sekeras apapun perempuan menbangun dunia yang mereka dambakan, toh ujungnya cuma jadi ibu rumah tangga. Begitulah stereotip yang masih diterima kebanyakan perempuan apalagi di negara berkembang. Padahal tingginya perempuan berpendidikan bisa melahirkan generasi berkualitas meski akan menjadi ibu rumah tangga.

        Stigma ini seringkali membuat perempuan kehilangan kepercayaan diri dan akhirnya menyerah pada harapan harapan masyarakat. Mereka terhambat oleh pandangan patriarkis yang mengikat. Patriarki, yang sudah berakar dalam budaya dan adat istiadat, menciptakan stereotip dan stigma yang menyatakan bahwa laki-laki lebih berkuasa daripada perempuan. Budaya patriarki telah terlanjur melekat dalam sistem sosial masyarakat dan sulit dihilangkan.

Sumber : https://indoprogress.com/2014/03/patriarki-jawa-dalam-kisah-rakyat-jawa/

  Awalnya patriarki berawal dari kontrol, kekuatan, dan kekuasaan yang berakhir merujuk pada kekerasan (Bahlieda, 2015). Bersamaan dengan peradaban yang menormalisasikan kekerasan juga dukungan sejarah peperangan zaman dahulu yang ‘mengizinkan’ kekerasan, patriarki kini berkembang menjadi sistem dan ideologi dimana laki-laki merupakan dominasi di kalangan masyarakat serta memberikan pemikiran bahwa seharusnya laki-laki memiliki kedudukan lebih tinggi daripada perempuan (Israpil, 2017).

        Indonesia sering kali dianggap sebagai negara patriarkis, di mana adat dan agama sering digunakan sebagai alasan untuk mendebatkan kesetaraan gender. Jangankan dari sisi sosial masyarakat, seringkali perempuan mendapatkan stereotip patriarkis bahkan dari keluarganya sendiri. Seakan-akan mimpi perempuan cuman cerita pengantar tidur. Padahal sebenarnya, banyak perempuan ingin lepas dari budaya patriarki, ingin mencoba meraih mimpi-mimpinya, melihat dunia langsung dari pandangan sendiri. Namun, keadaan sosial menghambat keinginan perempuan untuk meraih cita-citanya.

        Mengutip UUD 1945 Pasal 27 ayat 1 “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” dan UUD 1945 Pasal 28E ayat 3 “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Jelas bahwa hakikatnya perempuan juga memiliki hak, suara dan peran dalam masyarakat, perekonomian, dunia kerja, hingga pemerintahan.

Sumber : https://www.newyorkupstate.com/seneca-falls/2016/08/a_day_in_seneca_falls_photo_essay_of_people_places_in_upstate_ny_village.html

        Sedangkan feminisme pertama kali lahir pada tahun 1848 di Seneca Falls, New York, yang membahas konvensi hak-hak perempuan. Seiring berjalannya waktu dan perkembangan zaman, gerakan feminisme terus berjalan sehingga hak belajar, berpendapat serta peran perempuan di masyarakat sudah mulai didapatkan. Di tahun 2007-2012 fokus feminisme beralih ke isu keadilan bagi perempuan, khususnya kepada mereka yang mengalami kekerasan dan tindakan seksual.

        Isu kekerasan seksual semakin marak di berbagai media massa nasional, menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara tidak aman bagi perempuan. Di Tahun 2022 tercatat oleh Catatan Tahunan (CaTahu) Komnas Perempuan terdapat 457.895 laporan kasus kekerasan yang terjadi di Indonesia. Ternyata menjadi korban belum cukup untuk pelaku merasa bersalah atas tindakannya, berdalih perempuan lah yang salah. Segala kekerasan dan pelecehan selalu perempuan yang disalahkan, entah dengan memandang perilaku atau cara berpakaian. Dan yang miris, ketika hukum hanya menjerumuskan korban, baik itu berupa sanksi hukum maupun sanksi sosial. 

        Dengan iming-iming Open Minded masyarakat berseru melawan patriarki, terjadi demo di kota-kota besar dengan mengedepankan hak-hak perempuan. Memang benar sebagian besar hak perempuan sudah terpenuhi, tetapi bukan berarti mereka bisa merasa aman hidup di lingkungan masyarakat. Dari dulu sampai sekarang perempuan hanya dipandang sebelah mata oleh sebagian masyarakat apalagi mereka yang menjadi korban kekerasan dan pelecehan seksual.

Sumber : https://www.theatlantic.com/business/archive/2014/04/why-men-dont-stand-up-for-women-to-lead/361231/

        Kasus kekerasan dan pelecehan seksual yang menimbulkan efek fisik dan psikis bagi korban menimbulkan statement baru untuk sebagian korban bahwa perempuan bisa hidup tanpa laki-laki. Tidak hanya korban kekerasan dan pelecehan seksual, saat ini banyak perempuan menyuarakan tidak membutuhkan laki-laki dalam hidupnya. Berawal dari statement ‘my body my choice’ sehingga secara tidak langsung ideologi feminis melenceng dari tujuan sebenarnya.

        Hasil riset yang dilakukan tim Tirto.id (2021) yang melibatkan 1500 responden, menunjukkan sebanyak 57% setuju dengan konsep kesetaraan gender, artinya di era sekarang sudah banyak laki-laki setuju dan ikut berkampanye menyuarakan ideologi dengan konsep feminisme pada dasarnya, tetapi tidak dengan gerakan feminisme modern yang lebih mengarah kepada ‘man hating’ situasi dimana gerakan feminisme disalahgunakan.

        Hakikatnya, feminisme merupakan gerakan untuk menegakkan keadilan gender, feminisme mengapresiasikan peran perempuan tanpa membenci, menjatuhkan atau melemahkan pihak manapun. Namun, seiring berjalannya waktu sistem feminisme dan patriarki malah saling menjatuhkan satu sama lain, mengklaim menjadi ‘si paling tertindas’.

        Bahkan beberapa mengkritik bahwa seringkali feminisme mencitrakan laki-laki sebagai musuh atau mengambil keuntungan dari mereka. Ada juga yang berpendapat bahwa feminisme ini melupakan atau merendahkan kontribusi dan peran positif yang dimainkan oleh laki-laki dalam bermasyarakat.


        Padahal harusnya kesetaraan gender bukanlah tentang siapa yang kuat dan siapa yang lemah, melainkan fungsi dari kesetaraan gender adalah memperbaiki sistem sosial agar dapat berjalan dengan baik tanpa ada yang merasa dirugikan. Dalam mengembalikan keseimbangan dalam kesetaraan gender, peran perempuan dan laki-laki saling dibutuhkan. Dalam buku ‘Men and Gender Equality’ karya Flood (2015), menyebutkan peran laki-laki dalam patriarki ada dua, sebagai penyebab masalahnya dan sebagai solusinya. Maka ketika masyarakat ingin kembali menggerakkan prinsip kesetaraan gender, penting untuk memperhatikan nilai-nilai hak dari dasar kesetaraan gender tersebut.

        Patriarki dan feminisme menjadi isu sosial yang semakin marak di Indonesia, bahkan di beberapa negara, saatnya kita awas dengan perubahan yang terjadi. Memiliki suara sudah menjadi hak dari setiap individu untuk menegakkan kesetaraan gender, tetapi dalam menyikapi suara yang kita keluarkan, perlu memperhatikan nilai-nilai kesetaraan tanpa menjatuhkan pihak lain. Dengan begitu baik perempuan dan laki-laki yang saling menghargai hak dan kewajibannya akan mendapatkan posisi sosial sesuai porsi masing-masing. 

        Diksi kesetaraan pun rasanya kurang pas digunakan. Jika yang diperjuangkan adalah hak masing-masing gender. Kita juga sadar sebagai manusia yang sudah mendapat fitrah berupa gender dan jenis kelamin yang berbeda, artinya juga dengan hak dan kewajiban yang berbeda. Adil itu tak melulu soal sama atau setara, melainkan bagaimana kita menempatkan sesuatu tepat pada tempatnya. Keadilan gender lebih pas digunakan untuk memperjuangkan hak-hak perempuan di zaman ini. Karena pada dasarnya perempuan itu sudah kuat, feminisme hanya mengubah cara dunia memandang kekuatan itu. Akhirnya jika semua orang sudah sadar dengan hak dan kewajibannya masing-masing, tak butuh lagi ada perdebatan dan saling berebut soal kesetaraan.


Referensi:

• Bahlieda, D. (2015). The Patriarchal System: Origins and Characteristics. 

• Israpil, N. (2017). Patriarchy, war and terrorism: Toward a political sociology of war. 

• Catatan Tahunan (CaTahu) Komnas Perempuan. (2022). Jakarta: Komnas Perempuan.

• Flood, M. (2015). Men and Gender Equality. Cambridge: Cambridge University Press.


Penulis: Nisrina Taufiq
Editor: Sobrun Jamil

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak