Bagi penggemar film bergenre Sci-Fi, agaknya topik Kecerdasan Buatan atau Artificial Intelligence tidak lagi asing didengar. Di dalam film, Artificial Intelligence atau biasa disebut AI sering digambarkan sukses berkembang hingga melampaui batas kecerdasan penciptanya sendiri, alias manusia. Film-film yang mengusung tema AI dengan premis serupa telah sejak lama dipersembahkan untuk para penonton, seperti misalnya “I, Robot” yang rilis pada tahun 2004 hingga film berseri keluaran terbaru, “Mission Impossible - Dead Reckoning” yang dibintangi oleh Tom Cruise.
Di tahun 2004, di luar film pada kenyataannya, siapa yang sangka dalam kurun waktu dua dekade, teknologi dapat berkembang dengan begitu signifikan? Bukan hanya munculnya berbagai platform media sosial (yang notabene memanfaatkan teknologi AI), kini AI juga telah berkembang secara pesat. Surprise! AI saat ini bukan lagi AI yang kita kenal beberapa tahun yang lalu. AI kini telah mengalami perkembangan yang lebih luas hingga memiliki tipe mesin sendiri yang lebih spesifik, yaitu Generative AI atau pendeknya AGI. Apabila AI diprogram untuk belajar dari data serta beradaptasi dengan keadaan yang berubah, AGI didesain sedemikian canggih agar mampu mencapai level kecerdasan manusia. Ibaratnya, AI adalah bidang yang luas, sedangkan AGI adalah sesuatu yang lebih spesifik di dalamnya.
Sebuah tool software versi terbaru yang diluncurkan perusahaan penelitian dan penyebaran, OpenAI, menjadi perbincangan selama tiga bulan terakhir. Tool software ini disebut-sebut merupakan salah satu perwujudan dari AGI. Generative Pretrained Transformer 4 atau GPT4 adalah sebuah tool AI yang menggunakan sistem Large Language Models (LLM).
Sederhananya, untuk membuat suatu ‘kecerdasan buatan’ diperlukan model pondasi awal agar AI dapat memahami bahasa manusia (natural language). Maka dari itu, LLM inilah yang menjadi model pondasi pengembangan GPT4.
Pada dasarnya, sebuah model AI dapat dibentuk dengan melatihnya secara terus-menerus dengan menginput data-data yang diperlukan. Begitu juga dengan LLM yang telah dilatih secara terus-menerus menggunakan data teks yang besar untuk memahami beragam bahasa manusia. Selain dapat memahami bahasa manusia, Chat GPT juga dibuat sedemikian rupa untuk bisa scanning berbagai macam informasi yang tersebar di internet. Oleh karena itu, Chat GPT berkompeten untuk menjawab berbagai macam pertanyaan, merangkum suatu teks, menulis ulang teks dengan gaya bahasa yang berbeda, membuat artikel sendiri, hingga bahkan kabarnya mampu memprediksi opini publik. Menurut Sam Altman, CEO OpenAI, misi mereka pada proyek ini adalah untuk memberikan akses kepada semua orang agar mendapatkan informasi secara praktis serta memberikan manfaat bagi manusia.
Tidak bisa dipungkiri munculnya banyak suara pendukung maupun penolakan yang bergaung dari segala arah. Menurut Nir Eisikovits, seorang Profesor Filosofi Universitas Massachusetts, alih-alih membahayakan manusia secara fisik, AI ini berurusan dengan keadaan pikiran manusia. Menukil dari Eisikovits, “ … Manusia adalah makhluk pembuat keputusan. Semakin sering pembuatan keputusan ini di-otomatisasi, semakin manusia menjadi bergantung dan kehilangan kemampuan untuk mengambil keputusan sendiri.” Menurutnya, penggunaan ChatGPT untuk penulisan essay atau tugas kuliah juga dapat memberikan efek serupa terhadap para mahasiswa, yaitu menurunnya tingkat kemampuan berpikir kritis.
Meski begitu, Sam Altman, dalam wawancaranya bersama KORIKA di Jakarta pada bulan juni lalu, menyebutkan bahwa era saat ini telah berubah, semua bergerak dengan super cepat. Pada awal peluncuran di Amerika Serikat, beberapa sekolah memblokir penggunaan ‘Cheat GPT’. Namun setelah beberapa waktu, mereka kembali membuka akses dan menyatakan untuk membawanya ke dalam pembelajaran. Sam juga menyatakan bahwa para murid yang memulai perjalanan pendidikannya saat ini, akan jauh lebih capable di masa depan berkat tools baru yang tersedia.
Sepuluh tahun yang lalu, bagi sebagian orang ‘benda’ asing ini (AI) dianggap mengancam manusia, khususnya pada bidang profesi yang tidak memerlukan skill khusus, seperti cleaning service, buruh tani, pekerja konstruksi, dan lain sebagainya. Namun justru faktanya –selain dari Chat GPT– kini AI telah merambah hingga industri kreatif. Saat ini, berbagai tools untuk mengimitasi suara, menulis script konten tertentu, hingga menciptakan lukisan/gambar/video telah dikuasai oleh teknologi terbaru ini – tentunya dengan memberikan input tertentu sebagai contoh pendukung.
Menjawab keresahan ini, Saadia Zahidi, Direktur Manager World Economic Forum, berkata bahwa bersamaan dengan hilangnya sejumlah pekerjaan, akan ada berbagai jenis pekerjaan baru yang muncul, dengan catatan para pegawai (pekerja) membutuhkan usaha lebih untuk reskilling dan upskilling, atau dengan kata lain, skill baru perlu dikuasai. “Melalui teknologi ini juga,” Saadia menambahkan, “skill baru dapat dipelajari secara online serta relatif tidak memakan waktu yang lama. Asalkan, pemerintah mendukung dan menyediakan sertifikasi resmi yang memadai untuk kursus online tersebut.”
Haruskah kita merasa cemas?
Sebenarnya, disadari atau tidak, kita telah menggunakan AI dalam kehidupan sehari-hari. Contoh paling dekat adalah penggunaan AI pada smartphone seperti Siri dan Bixby. Selanjutnya, penggunaan AI dalam mengatur algoritma media sosial; dengan mengamati apa yang di-tap, like dan scroll, ia akan mempelajari konten yang sesuai untuk ditampilkan pada timeline media sosial kalian. Dalam urusan marketing, AI juga berperan dalam menargetkan suatu produk tertentu untuk diiklankan. Pernahkah kalian menyadari setelah mencari suatu barang di e-commerce, iklan barang serupa akan muncul di media sosial kalian? Pada dasarnya, semakin ia mempelajari apa yang di-input ke dalamnya, semakin ia mampu memberikan output yang sesuai (relate). Bahkan, hal ini sebetulnya telah kita jalani selama kurang lebih delapan tahun terakhir, mengingat masifnya penggunaan media sosial akhir-akhir ini.
Seperti kata Herakleitos, “DeÄŸiÅŸiklikten baÅŸka hiçbir ÅŸey devamlı deÄŸildir. DeÄŸiÅŸmeyen tek ÅŸey, deÄŸiÅŸimdir,” yang berarti, “Tidak ada yang kekal selain perubahan. Satu-satunya yang konstan adalah perubahan.” Hal ini tercermin nyata pada kehidupan manusia. Kehidupan di era saat ini bergerak dan berkembang dengan super cepat sehingga kita sebagai manusia, khususnya generasi saat ini, dituntut untuk bisa terus beradaptasi, bersikap lebih terbuka, serta mau terus belajar.
Perkembangan teknologi merupakan faktor eksternal dari diri kita yang tidak mungkin bisa kita kontrol. Satu-satunya hal yang dapat kita kontrol adalah diri sendiri. AI, internet, dan segala macam kecanggihan teknologi di zaman ini hanyalah alat semata, sama seperti pisau yang bisa gunakan untuk membantu memudahkan kita atau sebaliknya merugikan orang lain. Melatih kreativitas diri serta terus memupuk rasa penasaran akan segala hal (a.k.a. bersikap kritis), bisa memacu kita untuk mempelajari hal baru sekaligus mendapatkan insight baru. Dengan begitu, apapun rintangannya, kita hanya bisa selalu mengusahakan yang terbaik dari diri kita.
Stay Curious!
Sumber:
- Forbes: https://www.forbes.com/sites/forbestechcouncil/2018/09/17/ai-vs-agi-whats-the-difference/?sh=72e20d9838ee
- OpenAI: https://openai.com/research/gpt-4
- TDS: https://towardsdatascience.com/a-brief-history-of-language-models-d9e4620e025b
- The Conversation: https://theconversation.com/ai-is-an-existential-threat-just-not-the-way-you-think-207680
Penulis: Baira Rahayu
Editor: Muhammad Aqilsyah, Sobrun Jamil
bagus tulisannya, mudah dimengerti dan sangat bermanfaat good job!
BalasHapus