Pada bulan Mei 2022 lalu, viral di berbagai media, pernyataan Anjelina Yulianti, seorang siswi sekaligus ketua OSIS SMAS St. Familia Wae Nakeng, Lembor, Nusa Tenggara Barat, yang mengkritik perubahan kurikulum pendidikan di Indonesia kepada Andreas Hugo Pareira (anggota komisi X DPR RI) ketika melakukan kunjungan pada tanggal 9 Mei 2022.
Anjelina mengkritik bahwasanya dia menilai alasan pendidikan Indonesia sulit untuk maju adalah kurikulum yang senantiasa berubah dan seringnya itu terjadi ketika pergantian presiden atau menteri. Dia mengeluhkan bahwa dampak bagi para pelajar dan guru yang mengampu, mereka kewalahan mengikuti kurikulum yang terus menerus diganti dan kesannya mereka dijadikan uji coba. Belum selesai mereka memahami kurikulum yang sedang berjalan, mereka harus segera beradaptasi dengan kurikulum yang baru.
Di satu sisi pernyataan siswi dari NTB tersebut, memang benar adanya. Kurikulum pendidikan di Indonesia hampir selalu berubah ketika berganti presiden atau menteri pendidikan. Sejak kemerdekaan hingga saat ini, Indonesia telah berulang kali melakukan ‘pembaruan’ kurikulum. Kurikulum pendidikan Indonesia dimulai dengan Rencana Pendidikan (1947), Rencana Pelajaran Terurai (1952), Kurikulum Rencana Pendidikan (1964), Kurikulum 1968 (1968), Kurikulum 1975 (1975), Kurikulum Cara Belajar Siswa Aktif CBSA (1984), Kurikulum 1994 (1994), Kurikulum Berbasis Kompetensi KBK (2004), Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan KTSP (2006), Kurikulum 2013 (2013), dan yang terbaru Kurikulum Merdeka. Kurikulum merdeka sudah mulai diterapkan bertahap sejak tahun 2020 dan pada 2024 nanti akan diterapkan secara nasional.
Sudah banyak artikel yang mengatakan bahwa, kurikulum pendidikan yang dibentuk merupakan lanjutan dari hasrat siapa yang berkuasa. Hegemoni. Seperti yang dilakukan Anjelina, kita memang perlu mempertanyakan kembali, kenapa kurikulum pendidikan kita selalu berubah-ubah?
Di sisi yang lain, memang pembaruan dan perbaikan senantiasa diperlukan. Tetapi, merubah kurikulum pendidikan negara, tendensinya akan lebih banyak untuk mengulang kembali sistem yang sudah diterapkan. Dalam proses pembentukannya sendiri akan diperlukan riset yang memerlukan dana besar, dalam pengadaan buku juga terdapat pundi-pundi rupiah yang bisa diraup dari sana. Ketika mereka yang duduk di atas sibuk memikirkan hal-hal besar atas nama ‘pembaruan’, para siswa dan guru harus siap menerima dan segera mengadaptasi diri. Bukankah ini memusingkan? Lalu, ketika kurikulum ini terlalu sering berubah, bukankah menjadi wajar jika kita heran?
Izinkan saya melakukan sedikit pendekatan dalam kurikulum pengajaran sejarah.
Kurikulum pengajaran sejarah di Indonesia secara nasional amat dipengaruhi situasi politik. Pada saat era Demokrasi Liberal tahun 1950, salah satu tujuan pendidikan adalah untuk menciptakan masyarakat yang berwatak demokratis. Namun, karena angin politik berubah dan Soekarno menetapkan sistem Demokrasi Terpimpin, cita-cita demokratisasi pengajaran sejarah menjadi tidak tercapai.
Kemudian ketika Soeharto memimpin, dia menilai pengajaran sejarah tidak menanamkan rasa cinta tanah air. Maka, kurikulum pengajaran sejarah diarahkan untuk menanamkan nasionalisme. Corak ideologis dalam pengajaran sejarah berlaku sejak 1983-1994. Ketika pada tahun tersebut angin politik berubah, pengajaran sejarah kembali diarahkan untuk memahami sejarah sebagai ilmu, dan tentu pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan saintifik. Maka tujuannya kembali seperti yang diwacanakan di awal yaitu untuk menumbuhkan sikap kritis dan demokratis. Namun, kekurangan dari penerapannya adalah sejarah yang diajarkan amat Neerlandosentris. Dan pada masa itu, cara ini dinilai lebih tepat. Karena jika tidak, pengajaran sejarah akan terkesan menanamkan doktrin.
Apakah benar demikian?
Ketidakmampuan pendekatan saintifik kurikulum 2006 diperlihatkan melalui berubahnya tujuan pendidikan kurikulum 2013. Jika diringkas, empat inti tujuan pelajaran sejarah kurtilas adalah sebagai berikut;
- Mengembangkan penghayatan terhadap ajaran agama.
- Mengembangkan perilaku positif.
- Mengembangkan penguasaan ilmu (sejarah) untuk menghadapi kejadian-kejadian aktual.
- Mampu mengembangkan ilmu pengetahuan yang dipelajari (sejarah).
Menarik bahwa dua di antara empat tujuan adalah mengarahkan peserta didik untuk beragama dan berkarakter baik. Kritik kecenderungan ideologis pada kurikulum OrBa yang melahirkan pengajaran sejarah secara saintifik ternyata tidak bertahan lama. Isu kebobrokan moral menarik kembali kesadaran para perumus kurikulum pendidikan sejarah untuk merumuskan kurikulum yang sarat akan nilai (value laden). Dari sini kita temukan, kurikulum kita dalam pengajaran terkesan labil.
Pada aspek lain, seperti dalam artikel sebelumnya yang dipublish Konstantinesia dengan judul ‘Wabah Antraks Muncul Kembali: Minim dan Lemahnya Pendidikan Sains Dasar di Indonesia’, penulis menjelaskan keresahannya terhadap kurikulum pendidikan di Indonesia, dalam kasus ini adalah pengajaran sains. Saya rasa, mayoritas kita akan setuju bahwa pengajaran sains di Indonesia hanya mencetak siswa yang pernah hafal materi A,B, C, dan seterusnya dari pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam. Kalau yang merasa relate dengan pernyataan ini dalam bilangan mayoritas maka tidak dapat dikatakan bahwa kesalahannya ada pada siswa. Kesalahannya entah itu dari guru, atau justru dari sistem pendidikannya yang keliru.
Ketika Indonesia menerapkan sistem Ujian Nasional, nilai pendidikan menjadi sangat terkapitalisasi. Seluruh siswa berlomba-lomba mendapatkan angka besar ketika ujian nasional. Semua yang pernah ada di era ini mengetahui betul headline berita kebocoran soal Ujian Nasional di setiap tahun sepaket dengan kecurangan lainnya. Pilihan yang ada adalah antara menghafal mati-matian materi atau lewat jalur pintas, yaitu berlaku curang. Toh, bukankah yang mendapat apresiasi adalah yang mendapat nilai tertinggi?
Seluruh lapisan pendidikan berlomba-lomba menunjukan eksistensinya di sini. Sekolah yang ingin unjuk gigi, guru-guru yang cenderung menuntut anak didiknya mendapat nilai tinggi, dan seterusnya. Maka, cukup tepat jika ini dikatakan sebagai kerusakan struktural.
Saat ini, pemerintah sedang mengupayakan kurikulum baru yang dirumuskan oleh Nadiem Makarim, Kurikulum Merdeka. Jika dilihat, kurikulum ini menawarkan konsep yang sangat segar dan out of the box. Namun, bukankah setiap pembaruan menawarkan janji yang amat menggiurkan? Ketika kurikulum ini berhasil diterapkan secara nasional 2024 nanti, keberhasilannya adalah milik Kemendikbud yang mencanangkan, belum tentu milik peserta didik maupun para pendidik yang mengoperasikannya.
Kurikulum merdeka yang sedang diterapkan secara bertahap ini pun menghadapi banyak tantangan. Pertama, infrastruktur yang tidak merata adalah hambatan nyata bagi kurikulum ini. Banyak sekali keluhan datang dari sekolah-sekolah di daerah. Ya, selama ini sekolah di pelosok cenderung harus mengejar ketertinggalan dari sekolah yang ada di kota. Selama fasilitas pendidikan di daerah belum diberdayakan secara serius, saya rasa kurikulum merdeka hanya efektif di kota besar saja.
Kedua, kurikulum merdeka menuntut para guru untuk up to date. Persoalan guru sendiri masih menjadi masalah besar yang belum kunjung menemukan titik terang. Mulai dari upah guru honorer yang rendah sampai persoalan administrasi se-gudang untuk menjadi guru PNS. (Belum lagi akhir-akhir ini kita banyak melihat semakin sulitnya menjadi dosen).
Tuntutan dari penerapan kurikulum merdeka nanti, mengharuskan guru-guru untuk semakin update dari segi wawasan dan penguasaan terhadap teknologi, ya karena kita sedang berada di era digital. Saya lebih yakin bahwa kebanyakan guru-guru yang kita miliki justru sedang bingung, kewalahan, dan memutar otak bagaimana cara cepat untuk menguasai hal-hal yang menjadi tuntutan penerapan kurikulum merdeka. Seperti menyiapkan presentasi dan sebagainya. Karena adaptasi membutuhkan waktu yang tidak sebentar.
Tentu besar harapan kita semua untuk kemajuan pendidikan di negara kita tercinta. Semoga kali ini, peserta didik tidak lagi menjadi korban proker ambisius pemerintah dan negara kita benar-benar merasakan kualitas pendidikan yang merata.
Pendidikan merata bukanlah sesuatu yang mustahil. Berkaca dari pengalaman kami yang berkesempatan sekolah di Turki, kami sudah menyaksikan hal tersebut. Turki memiliki 81 provinsi dan setiap provinsi sudah memiliki perguruan tinggi negeri dengan sarana prasarana yang amat memadai. Sekolah yang ada dari tingkat dasar sampai tingkat atas tidak ditemukan diskriminasi yang mencolok dibanding kota-kota besar. Pada setiap provinsi, akan kita temukan satu pusat kepemudaan yang didirikan oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga, tetapi jangan salah, fasilitas yang ada sangat mendukung bagi siswa yang ingin mengembangkan minat mereka. Bagi mereka yang duduk di bangku SMP dan SMA, di sana terdapat laboratorium dan ruang-ruang untuk mengeksplorasi diri dan menciptakan hal-hal baru. Bahkan dari ruang-ruang tersebut, mereka mampu menciptakan mobil. Tentunya mereka didampingi guru yang sepenuh hati mendukung para siswa untuk menerjemahkan isi pikiran mereka menjadi suatu penemuan yang baru.
Untuk menjadi negara maju, fundamentalnya adalah pendidikan. Indonesia merdeka lebih dulu dibanding negara-negara tetangganya, namun, dalam pendidikan kita jauh tertinggal dari Singapura dan Malaysia. Banyak upaya yang perlu dilakukan secara bersama-sama. Tidak hanya pemerintah, semua lapisan masyarakat harus benar-benar terlibat aktif. Pemerintah tidak boleh menjadikan agenda-agendanya hanya untuk mencari capaian prestise semata, terjunlah sedalam-dalamnya ke berbagai lapisan masyarakat.
Mari mengingat, renungi, dan jalankan bersama-sama apa yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945 kita yang mengamanatkan pemerintah negara Indonesia untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Referensi :
- Kompasiana: https://www.kompasiana.com/ariadnasopia1909/62c5719cbb44862cfc226c14/siswa-kritik-kurikulum-pendidikan-yang-terus-berubah-mungkin-penyebab-pendidikan-di-indonesia-kurang-maju?page=2&page_images=1
- Republika: https://news.republika.co.id/berita/rjkfsp330/kurikulum-merdeka-ideal-atau-hanya-utopia
- Konstantinesia: https://www.konstantinesia.com/2023/07/wabah-antraks-muncul-kembali-minim-dan.html
- Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 2 No.1, Mei 2013 Kurikulum Dan Pendidikan Di Indonesia: Proses Mencari Arah Pendidikan Yang Ideal Di Indonesia Atau Hegemoni Kepentingan Penguasa Semata? Oleh Dedi Ilham Perdana.
- Muatan Nilai Islam Dalam Penulisan dan Pengajaran Sejarah oleh Tiar Anwar Bachtiar.
Penulis: Muhammad Aqilsyah
Editor: Sobrun Jamil
Keren kata gue mah
BalasHapus