Tercatat wabah tersebut masuk ke Indonesia sejak tahun 1832 dan hingga saat ini antraks masih menyerang manusia dan hewan ternak, seperti yang terjadi di Gunungkidul kemarin. Antraks yang menyerang warga Pedukuhan Jati, Kalurahan Candirejo, Kabupaten Gunungkidul lalu juga telah menewaskan seorang warga.
Berdasarkan berita dan data yang telah saya baca, salah satu penyebab utama wabah antraks kembali hadir dan menyerang masyarakat Gunungkidul diakibatkan oleh tiga sapi yang mati mendadak di bulan Mei lalu. Sapi–sapi tersebut telah dikubur melalui prosedur SOP yang sesuai, namun setelah itu masyarakat menggali satu di antaranya dan disembelih untuk dikonsumsi dagingnya.
Sekilas Tentang Antraks dan Pencegahannya
Secara sederhana, antraks merupakan penyakit menular zoonosis (menular dari hewan ke manusia) yang berasal dari bakteri gram-positif yang berbentuk silinder dengan nama, Bacillus anthracis. Umumnya bakteri ini dapat memengaruhi hewan ternak dan liar di seluruh dunia. Bakteri pembentuk spora yang menyebabkan antraks ini selain bisa memengaruhi hewan, juga dapat menjangkit dan menginfeksi manusia melalui kontak dengan hewan yang terpapar, dan tidak menular dari manusia ke manusia.
Bakteri penyebab antraks atau Bacillus anthracis memiliki endospora yang dapat menjadi pertahanan eksistensinya dalam keadaan se-ekstrem apapun. Sehingga spora yang terdapat di bakteri tersebut dapat bertahan dalam tanah atau permukaan bumi selama bertahun-tahun. Spora yang berdiam dalam tanah di beberapa kondisi dapat melayang dan terhirup oleh manusia atau hewan dan kembali aktif di tubuh yang artinya, ada potensi besar antraks menjadi wabah yang kembali beredar jika di suatu wilayah tersebut terjangkit antraks sebelumnya.
Secara spesifik bakteri ini menyerang hewan pemakan rumput atau ruminansia seperti, sapi, kambing, kuda, dan domba. Dan jika sudah menginfeksi tubuh manusia bakteri antraks memanifestasikan dirinya dalam tiga bentuk yang berbeda yaitu, menginfeksi kulit, gastrointestinal (pencernaan), dan inhalasi (pernapasan). Yang paling umum terjadi adalah menginfeksi kulit manusia di mana infeksi itu terjadi ketika menangani hewan atau produk hewani yang mengandung spora dari bakteri antraks.
Gejala klinis antraks pada manusia bisa dilihat ketika antraks mulai menginfeksi melalui tiga medium yang telah dijelaskan yakni; kulit, pencernaan, dan pernapasan. Singkatnya, menurut CDC (Centers for Disease Control and Prevention) Amerika, ada tiga bentuk gejala klinis antraks pada manusia.
Lemahnya pendidikan dasar sains di Indonesia dan cara alternatif apa yang bisa menjadi solusi?
Melihat kasus antraks di Gunungkidul yang disebabkan oleh perilaku warga setempat membuat saya berkontemplasi, penyakit ini terjadi bukan hanya penyebab biologis atau secara alamiah semata. Sesuatu bisa eksis atau terjadi di realitas terbentuk oleh konsep sebab-akibat yang mendasarinya. Contohnya, kasus penyakit antraks ini, tidak hanya semata-mata hadirnya Bacillus anthracis yang diidap oleh hewan ternak atau manusia, tapi juga kegagalan pemahaman dan pengetahuan masyarakat Indonesia terkait ilmu sains dasar yang seharusnya bisa dipahami oleh semua elemen masyarakat.
Sebenarnya permasalahan ini jika dilihat secara holistik merujuk ke banyak aspek mulai dari kesenjangan sosial, kemiskinan struktural hingga yang ingin saya soroti lebih dalam ialah, pendidikan dasar sains yang gagal diterapkan di kehidupan sehari-hari. Pendidikan dasar dan menengah seharusnya menyajikan kurikulum yang strategis dan tepat terhadap ilmu-ilmu dasar sains dalam penerapannya di kehidupan sehari-hari.
Saat ini pendidikan membuat kita merasa hidup dan sekolah adalah dua peran yang berbeda. Ilmu-ilmu sains yang kita pelajari di sekolah hanya sekadar menjadi hafalan atau teori yang diaplikasikan demi lulus ujian semata. Sejak saya bersekolah selama 12 tahun dari SD hingga SMA, hal tersebutlah yang saya rasakan. Kurangnya pendekatan sains atau keilmuan pada kehidupan sehari-hari, seolah-olah sains yang diajarkan di sekolah tidak sama dengan sains yang ada di kehidupan.
Padahal jika kita coba telaah kembali, sesederhana membuat mi rebus saja ada banyak elemen sains yang berperan. Ketika mi sedang direbus saat itu juga terjadi perubahan fisika yaitu, perubahan wujud air yang direbus menjadi uap dan mendidih sehingga mi yang kita buat matang dan siap dimakan, dari sisi biologisnya mi yang sudah dimakan akan menjadi energi bagi tubuh yang nantinya energi tersebut digunakan untuk keperluan sehari-hari. Perputaran siklus sederhana ini adalah proses sains yang sama halnya diajarkan di ruang-ruang kelas. Sayangnya kemungkinan besar dari kita jarang menyadarinya.
Kesadaran akan penerapan sains di kehidupan sehari-hari seharusnya dibentuk oleh sistem yang dapat mengakomodasi seluruh masyarakat yakni sistem pendidikan itu sendiri. Namun, hingga saat ini proses penumbuhan kesadaran tersebut masih menjadi tahap yang diupayakan. Saat ini masyarakat mendapat pengetahuan yang banyak justru berasal dari informasi sporadik yang berseliweran lewat media sosial. Contoh saja, kita jadi lebih mengetahui soal antraks lewat tulisan ini atau berita-berita di internet ketimbang mengingat kembali pelajaran sains mengenai bakteri dan penyakitnya di waktu sekolah dulu.
Pendidikan dasar sains yang gagal memiliki banyak dampak buruk yang terjadi, salah satunya miskonsepsi dan mudahnya berita hoax atau tidak benar di media sosial tersebar. Contoh nyatanya, seperti headline berita yang menyebutkan antraks adalah virus. Jelas, secara biologi dan fakta realitas, antraks adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri bukan virus. Perbedaan definisi virus dan bakteri ini bukanlah ilmu spesifik yang harus dimiliki seorang expertise biologi melainkan pengetahuan dasar yang dipelajari saat sekolah dasar dan menengah dan juga sangat bisa mudah dicari di mesin pencarian Google untuk memastikan kembali perbedaan dua entitas tersebut.
Merujuk pada apa yang terjadi di masyarakat Gunungkidul yang kemungkinan tidak memiliki akses terhadap pendidikan dasar sains yang optimal juga aspek sosial-ekonomi yang terbatas sehingga implikasinya adalah kegagalan mengenai pemahaman hewan ternak yang layak atau tidak dikonsumsi. Selain terhimpit ekonomi dan keaadan yang membuat mereka tidak memiliki pilihan, pendidikan yang seharusnya mengakomodir seluruh masyarakat Indonesia nyatanya belum tercapai juga. Permasalahan ini bukanlah masalah yang timbul akibat kebodohan satu pihak melainkan kegagalan sistemik yang seharusnya menjadi concern bagi pemerintah.
Catatan: Pada artikel selanjutnya, penulis akan menjelaskan secara detail terkait bagaimana metode berpikir sains dan pentingnya bagi kehidupan sehari - hari.
Penulis: Salsabila Amalia
Editor: Muhammad Rangga