Wabah Antraks Muncul Kembali: Minim dan Lemahnya Pendidikan Sains Dasar di Indonesia

Sumber : https://medialampung.disway.id/

Penyakit antraks di Indonesia bukan hal yang baru terjadi. Penyakit ini sering muncul di beberapa daerah di Indonesia seperti Sulawesi Selatan dan wilayah Jawa Tengah, hal tersebut telah diungkapkan oleh Gubernur DIY, Sultan Hamengku Buwono X. Beliau menjelaskan, kasus antraks di Jawa Tengah tidak hanya terjadi saat ini, dua tahun lalu juga sempat terjadi tepatnya berlokasi di Gunungkidul dan Sleman.

Tercatat wabah tersebut masuk ke Indonesia sejak tahun 1832 dan hingga saat ini antraks masih menyerang manusia dan hewan ternak, seperti yang terjadi di Gunungkidul kemarin. Antraks yang menyerang warga Pedukuhan Jati, Kalurahan Candirejo, Kabupaten Gunungkidul lalu juga telah menewaskan seorang warga.

Berdasarkan berita dan data yang telah saya baca, salah satu penyebab utama wabah antraks kembali hadir dan menyerang masyarakat Gunungkidul diakibatkan oleh tiga sapi yang mati mendadak di bulan Mei lalu. Sapi–sapi tersebut telah dikubur melalui prosedur SOP yang sesuai, namun setelah itu masyarakat menggali satu di antaranya dan disembelih untuk dikonsumsi dagingnya.

Sekilas Tentang Antraks dan Pencegahannya

Sumber : https://www.suara.com/

Secara sederhana, antraks merupakan penyakit menular zoonosis (menular dari hewan ke manusia) yang berasal dari bakteri gram-positif yang berbentuk silinder dengan nama, Bacillus anthracis. Umumnya bakteri ini dapat memengaruhi hewan ternak dan liar di seluruh dunia. Bakteri pembentuk spora yang menyebabkan antraks ini selain bisa memengaruhi hewan, juga dapat menjangkit dan menginfeksi manusia melalui kontak dengan hewan yang terpapar, dan tidak menular dari manusia ke manusia.

Bakteri penyebab antraks atau Bacillus anthracis memiliki endospora yang dapat menjadi pertahanan eksistensinya dalam keadaan se-ekstrem apapun. Sehingga spora yang terdapat di bakteri tersebut dapat bertahan dalam tanah atau permukaan bumi selama bertahun-tahun. Spora yang berdiam dalam tanah di beberapa kondisi dapat melayang dan terhirup oleh manusia atau hewan dan kembali aktif di tubuh yang artinya, ada potensi besar antraks menjadi wabah yang kembali beredar jika di suatu wilayah tersebut terjangkit antraks sebelumnya.

Secara spesifik bakteri ini menyerang hewan pemakan rumput atau ruminansia seperti, sapi, kambing, kuda, dan domba. Dan jika sudah menginfeksi tubuh manusia bakteri antraks memanifestasikan dirinya dalam tiga bentuk yang berbeda yaitu, menginfeksi kulit, gastrointestinal (pencernaan), dan inhalasi (pernapasan). Yang paling umum terjadi adalah menginfeksi kulit manusia di mana infeksi itu terjadi ketika menangani hewan atau produk hewani yang mengandung spora dari bakteri antraks.

Gejala klinis antraks pada manusia bisa dilihat ketika antraks mulai menginfeksi melalui tiga medium yang telah dijelaskan yakni; kulit, pencernaan, dan pernapasan. Singkatnya, menurut CDC (Centers for Disease Control and Prevention) Amerika, ada tiga bentuk gejala klinis antraks pada manusia.

Sumber : https://medanbisnisdaily.com/

Pertama, jika antraks menginfeksi kulit gejala awal yang dirasakan yang cukup signifikan adalah terdapat benjolan kemerahan pada kulit yang bagian tengahnya bewarna kehitaman serta nyeri otot yang berujung demam. Kedua, jika infeksi melalui pencernaan gejala signifikan yang terjadi adalah nyeri perut dan tenggorokan serta diare berat dan nafsu makan yang hilang. Dan ketiga, jika infeksi melalui pernapasan yang terjadi  adalah sesak napas hingga berujung demam tinggi dan nyeri otot.
 
Tindakan preventif yang bisa dilakukan agar dapat terhindar dari antraks berdasarkan saran dari CDC adalah, melakukan vaksinasi antraks, mengonsumsi antibiotik, karena antraks disebabkan oleh bakteri bukan virus pencegahan yang dilakukan adalah mengosumsi antibiotik sejenis ciprofloxacin dan doxycycline. Dan yang menjadi kunci utama adalah menjaga kebersihan lingkungan serta terus memantau kesehatan dan keberlangsungan hewan ternak di sekitar.


Lemahnya pendidikan dasar sains di Indonesia dan cara alternatif apa yang bisa menjadi solusi?

Melihat kasus antraks di Gunungkidul yang disebabkan oleh perilaku warga setempat membuat saya berkontemplasi, penyakit ini terjadi bukan hanya penyebab biologis atau secara alamiah semata. Sesuatu bisa eksis atau terjadi di realitas terbentuk oleh konsep sebab-akibat yang mendasarinya. Contohnya, kasus penyakit antraks ini, tidak hanya semata-mata hadirnya Bacillus anthracis yang diidap oleh hewan ternak atau manusia, tapi juga kegagalan pemahaman dan pengetahuan masyarakat Indonesia terkait ilmu sains dasar yang seharusnya bisa dipahami oleh semua elemen masyarakat.

Sebenarnya permasalahan ini jika dilihat secara holistik merujuk ke banyak aspek mulai dari kesenjangan sosial, kemiskinan struktural hingga yang ingin saya soroti lebih dalam ialah, pendidikan dasar sains yang gagal diterapkan di kehidupan sehari-hari. Pendidikan dasar dan menengah seharusnya menyajikan kurikulum yang strategis dan tepat terhadap ilmu-ilmu dasar sains dalam penerapannya di kehidupan sehari-hari.


Sumber : https://www.greatschools.org/

Saat ini pendidikan membuat kita merasa hidup dan sekolah adalah dua peran yang berbeda. Ilmu-ilmu sains yang kita pelajari di sekolah hanya sekadar menjadi hafalan atau teori yang diaplikasikan demi lulus ujian semata. Sejak saya bersekolah selama 12 tahun dari SD hingga SMA, hal tersebutlah yang saya rasakan. Kurangnya pendekatan sains atau keilmuan pada kehidupan sehari-hari, seolah-olah sains yang diajarkan di sekolah tidak sama dengan sains yang ada di kehidupan.

Padahal jika kita coba telaah kembali, sesederhana membuat mi rebus saja ada banyak elemen sains yang berperan. Ketika mi sedang direbus saat itu juga terjadi perubahan fisika yaitu, perubahan wujud air yang direbus menjadi uap dan mendidih sehingga mi yang kita buat matang dan siap dimakan, dari sisi biologisnya mi yang sudah dimakan akan menjadi energi bagi tubuh yang nantinya energi tersebut digunakan untuk keperluan sehari-hari. Perputaran siklus sederhana ini adalah proses sains yang sama halnya diajarkan di ruang-ruang kelas. Sayangnya kemungkinan besar dari kita jarang menyadarinya.

Kesadaran akan penerapan sains di kehidupan sehari-hari seharusnya dibentuk oleh sistem yang dapat mengakomodasi seluruh masyarakat yakni sistem pendidikan itu sendiri. Namun, hingga saat ini proses penumbuhan kesadaran tersebut masih menjadi tahap yang diupayakan. Saat ini masyarakat mendapat pengetahuan yang banyak justru berasal dari informasi sporadik yang berseliweran lewat media sosial. Contoh saja, kita jadi lebih mengetahui soal antraks lewat tulisan ini atau berita-berita di internet ketimbang mengingat kembali pelajaran sains mengenai bakteri dan penyakitnya di waktu sekolah dulu.

Pendidikan dasar sains yang gagal memiliki banyak dampak buruk yang terjadi, salah satunya miskonsepsi dan mudahnya  berita hoax atau tidak benar di media sosial tersebar. Contoh nyatanya, seperti headline berita yang menyebutkan antraks adalah virus. Jelas, secara biologi dan fakta realitas, antraks adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri bukan virus. Perbedaan definisi virus dan bakteri ini bukanlah ilmu spesifik yang harus dimiliki seorang expertise biologi melainkan pengetahuan dasar yang dipelajari saat sekolah dasar dan menengah dan juga sangat bisa mudah dicari di mesin pencarian Google untuk memastikan kembali perbedaan dua entitas tersebut.

Sumber gambar: https://bangka.tribunnews.com

Merujuk pada apa yang terjadi di  masyarakat Gunungkidul yang kemungkinan tidak memiliki akses terhadap pendidikan dasar sains yang optimal juga aspek sosial-ekonomi yang terbatas sehingga implikasinya adalah kegagalan mengenai pemahaman hewan ternak yang layak atau tidak dikonsumsi. Selain terhimpit ekonomi dan keaadan yang membuat mereka tidak memiliki pilihan, pendidikan yang seharusnya mengakomodir seluruh masyarakat Indonesia nyatanya belum tercapai juga. Permasalahan ini bukanlah masalah yang timbul akibat kebodohan satu pihak melainkan kegagalan sistemik yang seharusnya menjadi concern bagi pemerintah.

Sembari  menunggu program pendidikan dari pemerintah yang mandek di fase ‘sedang diupayakan’ dan belum totalitas itu. Sebagai masyarakat yang cerdas kita perlu cara alternatif yang bisa membantu memperkuat pendidikan sains di dalam diri. Cara alternatif  utama yang bisa dilakukan adalah mengoptimalkan proses berpikir dengan cara belajar berpikir rasional, logic, dan menerapkan metode scientific thinking. Dengan berpikir dan bernalar benar, kita bisa mengolah informasi dan realitas secara akurat sehingga tidak terjebak pada situasi dan keadaan yang tidak diinginkan.


Catatan: Pada artikel selanjutnya, penulis akan menjelaskan secara detail terkait bagaimana metode berpikir sains dan pentingnya bagi kehidupan sehari - hari.


Penulis: Salsabila Amalia
Editor: Muhammad Rangga

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak