Solilokui Jalan Raya

Credit: Road asphalt by Luca Micheli

Suara mencekam terus bergema di ujung jalan, melengking di antara kebisuan waktu. Puluhan orang terlihat terikat pada pemandangan kejadian mengenaskan ini, sebagai penonton yang tidak mengetahui etika kemanusiaan. Mereka sibuk dengan teknologi modern mereka, tak tahu malu akan perasaan-perasaan yang telah menghilang dari hati mereka. 

Kisah pahit kecelakaan tunggal terurai di hadapan mata. Ya, kalian tak salah dengar. Seorang ayah muda yang mungkin akan pulang setelah mengajak istri dan balitanya berlibur di salah satu tempat wisata, terhempas dalam dinginnya kematian. Beberapa anggota badannya hancur, bahkan wajah istrinya sudah sulit untuk dikenali. Jangan tanya keadaan sang balita, ia tewas di pelukan ibunya. Ketiganya terlindas truk trailer muatan kapal hitam. Awalnya si ayah ingin menghindari lubang di hadapannya, namun naas, truk berkecepatan tinggi dari belakang tidak menyadari gelagat pemotor di depannya yang tiba-tiba meliuk menghindari lubang. Kegelapan menelan segalanya.

Siapa yang salah? Ayah muda dengan istri dan balita yang baru pulang liburan keluarga? Atau sopir truk trailer muatan kapal hitam, yang kaget melihat gelagat tiba-tiba di depannya? Atau mungkin salah puluhan orang yang menahbiskan diri sebagai manusia, namun hanya sibuk memenuhi memori hp mereka? Atau justru yang disalahkan adalah penyedia fasilitasnya, yang ketika dapat dana pembangunan, malah sebagian besar hanya memenuhi perut rakus mereka?

Entahlah, aku hanya bisa meracau. Kejadian seperti itu sudah biasa bagi sesuatu sepertiku. Bisa dibilang, itu hanya sekelumit peristiwa yang sudah kusaksikan selama hidupku.

Ya, akulah jalan raya. Hidup berpuluh-puluh tahun, menjadi saksi atas tingkah laku makhluk hidup yang menamai diri mereka manusia. Tak terhitung tawa dan tangis yang tertumpah di atasku.Terkadang aku merasa seperti anjing setia yang tak pernah mengeluh. Mulai tersiramnya sinar mentari di punggungku, hingga gelapnya malam setia menyelimuti dinginnya bahuku.

Sejak dahulu, aku sudah dibangun dengan perasan keringat dan darah orang-orang yang ditodong senjata laras panjang. Tujuannya satu, agar memudahkan kulit putih melenggang nyaman di atasku, meluaskan wilayah kekuasaan mereka. Di sebuah tempat bernama ‘Jawa’, aku berdiri kokoh dari barat ke timur. Kerja paksa yang berhasil menciptakanku, meninggalkan banyak kesedihan. Tak terhitung nyawa yang melayang. Tapi akhirnya aku tetap terlihat menawan hingga sekarang.

Di beberapa daerah lainnya, aku bagaikan sehelai kain yang penuh bolong sana-sini. Bila panas menyengat, tubuhku menghasilkan deburan debu yang menyakiti mata dan paru-paru. Jika langit memuntahkan hujannya, punggungku menjadi kolam-kolam kecil untuk bayi nyamuk dan katak. Kadang juga berlendir, melahirkan banyaknya kecelakaan sebab tergelincir ataupun terpeleset.

Aku adalah jalan raya. Yang juga menjadi bisnis menggiurkan bagi sebagian orang. Dana seratus persen dari atasan, bisa hanya tersisa lima persen untuk membangun versi lemahku. Memang hargaku mahal, sebab pelayanan yang kuberikan sungguh kenyamanan dan keselamatan. Di negara-negara maju bahkan diriku dibuat super menawan, dengan berbagai hiasan yang menyejukkan penglihatan. Namun ada juga di sebuah negara, ketika dana pembangunanku telah dicairkan, semuanya bagai terhipnotis menjulurkan lidah. Mengendus-endus bak anjing kegirangan yang mendapatkan sebuah tulang segar. Satu persatu mengambil bagiannya, hingga akhirnya ketika mereka ketahuan, jurus lempar sana-lempar sini yang selalu mereka andalkan.

Aku adalah jalan raya, bukan hanya jalur transportasi. Aku adalah penjelajah yang setia mendampingi jejak manusia, menyaksikan peristiwa demi peristiwa. Keajaiban dan tragedi, cinta dan konflik, semuanya terekam dalam benakku. 

Menjadi saksi dari awal perjalanan para pekerja yang berangkat ke tempat kerja. Mereka bergegas melewati jalur-jalurku, membawa harapan dan mimpi dalam setiap langkahnya. Aku merasakan semangat mereka, energi yang tak terbatas untuk menaklukkan dunia.

Aku juga melihat kejadian-kejadian yang membuat hati terhuyung, seperti kecelakaan yang tak terduga. Aku bisa merasakan hentakan keras saat kendaraan bertabrakan, dan juga kepanikan yang melanda para saksi mata.

Begitu pula ketika anak-anak sekolah pulang, bercanda dan tertawa di dalam kendaraan yang membawanya. Aku menangkap riang gembira mereka, suara tawa yang menyegarkan hati. Namun, tak jarang juga terdengar suara orang tua yang mengawasi mereka dalam cemas, berdoa agar anak-anak mereka selamat sampai ke rumah.

Ketika senja membius penglihatan, aku menyaksikan lalu lintas yang semakin padat. Orang-orang bergegas pulang, berusaha mencapai tujuan mereka dengan cepat. Aku merasakan gelombang kelelahan menyeruak dari setiap pengendara yang pulang dari aktivitas harian mereka. Tetapi dibalik itu semua, aku juga dapat menyaksikan refleksi matahari terbenam yang indah di permukaanku, mengingatkan kita bahwa di tengah kesibukan dan kepenatan, masih ada keindahan yang bisa dinikmati.

Aku pun menjadi saksi bagi cerita-cerita romantis. Kendaraan yang melintas dengan lampu rem menyala menjadi cahaya bintang-bintang di malam hari. Aku merasakan getaran hati mereka yang merindukan pertemuan dengan orang yang mereka cintai. Aku mendengar bisikan-bisikan yang penuh harap dan janji, yang terbawa oleh angin malam.

Inilah aku, jalan raya yang tak pernah lelah menyaksikan segala peristiwa. Aku adalah kanvas tempat semua cerita bergulir, tanpa pernah berhenti. Jalanku, bukan hanya tempat untuk berjalan. Aku adalah saksi bisu dari kehidupan manusia. Tak pernah lelah mengalirkan kisah-kisahnya, menjadi catatan diam tentang perjalanan panjang yang diambil oleh mereka yang melangkah di atas permukaanku. Terkadang penuh duka, terkadang penuh kegembiraan. Aku adalah jalan raya, saksi setia dari cerita-cerita hidup yang tak pernah berhenti mengalir.


Penulis: Muhammad Rangga
Editor: Baira Rahayu

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak