Bahasa merupakan salah satu unsur terpenting dalam komunikasi. Oleh karenanya, terkadang beberapa orang sulit berkomunikasi satu sama lain dikarenakan perbedaan bahasa. Di seluruh dunia perkiraan jumlah bahasa berkisar antara 6.000-7.000 bahasa. Bahasa memiliki banyak jenis diantaranya lisan, isyarat, tulisan, grafis, braille, atau bahkan hanya berbentuk suatu siulan.
Dengan memiliki kemampuan berbahasa yang mumpuni, seseorang tentu akan lebih mudah bersosialisasi dan berinteraksi di dalam dunia sosial. Sehingga tak jarang, orang yang cakap dalam hal bahasa komunikasi, pasti mahir juga dalam bernegosiasi, berpolitik, atau berstrategi. Di era globalisasi yang serba digital seperti saat ini, tentu kemahiran bahasa menjadi hal yang sangat penting.
Hal tersebut dikarenakan, bahasa merupakan modal utama yang harus dimiliki oleh seseorang untuk bisa terjun dan menguasai media baru. Bisa kita amati, apa yang tersaji di media sosial, hampir seluruhnya merupakan proses penyampaian pesan komunikasi melalui bahasa dengan gayanya masing-masing. Setiap konten tersebut dikemas sekreatif mungkin, sehingga menarik serta pesan komunikasinya sampai kepada komunikan.
Sebagai bagian tak terpisahkan dari proses globalisasi, memiliki kecakapan dalam berbahasa asing tentu menjadi sangat penting bagi kita yang merupakan bagian dari warga dunia. Dengan memiliki kecakapan bahasa asing yang mumpuni, tentu seorang warga negara dari suatu wilayah dapat dengan mudah berkomunikasi dan menjalin relasi dengan warga negara lain di seluruh penjuru dunia.
Namun, sayangnya berdasarkan riset pada tahun 2021 yang dihimpun dan dirilis oleh EF (Education First), diperoleh fakta bahwa Indonesia menempati urutan ke-80 dari 112 negara di dunia dengan skor 466 poin, hasil ini dihitung berdasarkan English Proficiency Index (EPI). Nilai tersebut dapat dikategorikan “rendah” untuk kecakapan Bahasa Inggris. Secara global, capaian skor EPI Indonesia bahkan masih jauh di bawah rata-rata skor EPI global yang berada di kisaran 503 poin.
Kita tahu sendiri bahwa Bahasa Inggris merupakan salah satu bahasa penghubung secara internasional, dengan lebih dari 2,5 miliar penutur di seluruh penjuru dunia. Dibanding negara tetangga tentu kita kalah jauh, sejauh anganmu hidup berdampingan dengan dia yang mendambakan orang lain. Uhuk.
Misalnya saja, Singapura, Filipina, dan Malaysia yang berhasil menempati posisi tiga besar EPI di kawasan Asia. Singapura sendiri memperoleh predikat capaian EPI tertinggi di Asia dengan menempati peringkat ke-4 secara global dan dikategorikan sebagai “kecakapan sangat tinggi.” Sedangkan, Filipina dan Malaysia secara berturut berada pada peringkat ke-18 dan 28 secara global dan dikategorikan sebagai negara dengan “kecakapan tinggi” kemampuan Bahasa Inggris.
Kemudian apa yang salah dari orang-orang kita? Sehingga memiliki kecakapan bahasa asing yang rendah, khususnya Bahasa Inggris. Sebelum melangkah lebih jauh, alangkah baiknya kita cek terlebih dahulu rekam jejak, kurikulum, atau proses belajar bahasa di negeri kita tercintah~
Sumber: https://unsplash.com/@sdb_sjbc
Sebagai orang yang sudah menamatkan program wajib belajar 12 tahun, ditambah S1 4 tahun, S2 2 tahun, dan kebetulan juga memiliki pengalaman menjadi tenaga pengajar kurang lebih 6 tahun, Saya cuma ingin bilang kita tuh kebanyakan teori sedikit praktiknya, banyak hafalan sedikit implementasinya, tahu banyak hal tapi malas mengamalkannya.
Bagaimana tidak? Mulai dari sekolah dasar misalnya, di sana kita akan mendapatkan pelajaran bahasa di antaranya Bahasa Indonesia, Bahasa Daerah, Bahasa Inggris, plus Bahasa Arab kalau sekolahnya berbasis keislaman. Udah empat bahasa sekaligus lho kurang apa? Setelah lulus sekolah dasar kita bisa apa? Mentok yang masih diingat cuma Bahasa Indonesia, itu pun kalo suruh nulis cerita, tanda baca, pola kalimat, atau yang lainnya masih banyak yang salah.
Bahasa Daerah apalagi? Misalnya, aksara Jawa saja sudah pasti mereka semua lupa ketika lulus, yakin haqqul yaqin. Mungkin secara pengucapan banyak yang masih mahir, namun dalam hal penulisan dan pemahaman aksara kuno, nol besar. Belum lagi Bahasa Inggris dan Bahasa Arab yang diimpor dari negeri orang itu. Beberapa di antaranya paham dan tahu dasar-dasarnya, namun banyak lupanya tentu saja.
Masuk SMP, setidaknya kita akan mendapatkan empat pelajaran bahasa yang sama dengan ketika SD. Meskipun tidak menutup kemungkinan beberapa sekolah memiliki pelajaran tambahan bahasa asing lain.
Oke, kita lompat ke jenjang SMA/SMK/MA, di sini setidaknya Saya mempelajari enam bahasa, empat bahasa yang sudah disebutkan di atas, ditambah dua bahasa asing lain, yakni Bahasa Jepang dan Bahasa Mandarin. Alasan sekolah kami memasukkan Bahasa Jepang sebagai bagian dari kurikulumnya di antaranya memudahkan kita belajar sejarah Indonesia melalui sudut pandang Jepang dan peluang bekerja ke Jepang ketika lulus.
Sedangkan, alasan memasukkan Bahasa Mandarin di antaranya Tiongkok merupakan Negara yang cukup penting di Dunia, khususnya Asia. Dengan memahami Bahasa Mandarin tentu kita akan lebih mudah mengakses kerjasama di bidang sosial, politik, dan khususnya ekonomi. Selain itu, kebetulan di daerah kami juga banyak orang-orang keturunan Tionghoa.
Setelah lulus, bagaimana kecakapan bahasa kita? Ya, seperti biasa masih begitu-begitu saja. Bahasa-bahasa yang telah Saya sampaikan tadi hanya berhenti di kelas, sebagai hafalan, dan tidak diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga hasilnya bisa kita tebak, sebagian besar dari kita lupa apa yang telah dipelajari.
Bahkan, bagi mereka yang tidak pernah merantau dan hanya bergaul dengan orang yang satu suku atau satu daerah, kecakapan berbahasa Indonesianya pun lambat laun akan berkurang, dikarenakan tidak adanya praktik.
Ya, itulah realita yang terjadi dan dialami oleh orang-orang kita. Oleh karenanya, tidak mengherankan apabila kemampuan berbahasa asing kita terbilang rendah dibanding negara-negara tetangga, yang memang sebagian besar mereka menggunakan Bahasa Inggris sebagai bahasa resmi di negaranya masing-masing. Misalnya, Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, Australia, dan Selandia Baru.
Padahal, secara ide, pemikiran, atau gagasan kita tidak pernah kalah. Kita hanya kalah dalam proses berbahasa atau berkomunikasi di dunia global. Dalam hal materi? Tenang, kita masih berani bersaing dan beradu kok. Buktinya, kita masih menjadi bagian dari G20, yakni kelompok 20 negara dengan perekonomian besar di dunia.
Apakah sebenarnya bahasa asing itu sulit bagi orang-orang kita? Tentu saja tidak, buktinya kita tengok sedikit ke belakang. Sekitar seratus tahun yang lalu, ada Drs. Raden Mas Panji Sosrokartono yang merupakan kakak kandung R.A. Kartini.
R.M.P. Sosrokartono sendiri menguasai 24 bahasa asing dan 10 bahasa daerah di Nusantara. Bahkan, pada tahun 1919 sampai 1921, Beliau mampu menjabat sebagai Kepala Penerjemah untuk semua bahasa yang digunakan di Liga Bangsa-Bangsa. Iya, Liga Bangsa-Bangsa yang kemudian berubah nama menjadi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 1921.
Nah, keren nggak tuh. Di era itu belum ada media sosial atau teknologi yang canggih seperti saat ini loh. Namun, buktinya Beliau bisa, ya kan? Apalagi kita yang hidup di era digital, apa-apa serba cepat, praktis, dan mudah. Masa kalah, ya kan?
Ah, mungkin kita yang terlalu sering dimanja sih, makanya jadi malas. Saya kok teringat sebuah kutipan, tapi lupa dari siapa, tapi kira-kira seperti ini, “Kesulitan menciptakan orang-orang hebat, orang hebat menciptakan kemudahan, kemudahan menciptakan orang-orang lemah, orang lemah menciptakan kesulitan.”
Jangan-jangan kita ini bagian dari orang-orang lemah yang tercipta dari kemudahan itu? Ah, semoga itu cuma perasaan Saya saja.
Penulis: Fikri Amiruddin
Editor: Baira Rahayu