Hari ini, Rabu, 23 Mei 2007, tepat 10 tahun setelah kejadian yang sempat menghancurkan hidupku, membuatku hanya murung di dalam kamar selama hampir sebulan, tak tahu lagi hidupku mau dibawa kemana. Serasa, lebih baik aku mati saja waktu itu. Itulah, kira-kira gambaran kecil dampak akibat dari peristiwa yang kemudian orang-orang menyebutnya dengan “Peristiwa Jumat Kelabu” ini. Kalau mau jujur, tentu saja yang kurasakan waktu itu, jauhlah lebih kelam dari yang aku tuliskan. Tapi, ya sudahlah. Toh, aku juga sudah berdamai, walau sangat berat. Buktinya, aku bisa menulis cerita ini ke kalian.
Banjarmasin, merupakan kota kelahiranku dan tempat tinggalku semasa kecil bersama keluarga. Kami merupakan keluarga keturunan Tionghoa yang sudah mualaf sejak tiga tahun sebelum peristiwa kelam itu terjadi. Kami adalah keluarga kecil yang terdiri dari empat orang. Ayah, Ibu, aku, adikku Sari, dan aku Putra.
Kalau kalian bertanya kenapa nama kami seperti tidak ada unsur Tionghoa-nya. Ya, tentu saja karena ada anjuran pemerintah di tahun itu. Kami, ras Tionghoa dianjurkan untuk mengganti nama menjadi seperti nama pribumi. Tentunya kalian tahu, masa orde baru merupakan masa sensitif bagi ras kami. Mau tidak mau, demi kemaslahatan kami juga, kami ganti nama. Selanjutnya pemberian nama ini berlanjut hingga ke generasiku. Tapi, meski begitu kami tetap memiliki nama Tionghoa kami masing-masing. Contohnya nama Tionghoa-ku Lee Zhuang.
Jumat, 23 Mei 1997. Tak bisa lepas dari ingatan, sampai sekarang pun, di usiaku yang sudah menginjak 23 tahun, aku masih bisa mengingat setiap kejadian yang terjadi di hari itu. Karena begitu besar dan kelamnya hari itu bagiku.
Di pagi hari, aku berangkat sekolah seperti biasa. Waktu itu aku duduk di kelas 6 SD. Jumat kali ini memang lebih ramai, karena Partai Kuning sedang melakukan kampanye guna menyambut Pemilu. Ribuan orang mendatangi Lapangan Kamboja, pusat kampanye berlangsung. Aku juga ingin datang waktu itu, bukan karena peduli dengan Partai Kuningnya, tapi karena mereka mengundang beberapa artis papan atas, juga KH.Hasan Basri, ketua MUI saat itu. Lagipula, umurku waktu itu masih 13 tahun, tahu apa aku tentang tetek bengek politik. Aku lebih tertarik ke isi dari ceramah Pak Kiai saja. Sebagai mualaf, keinginanku untuk belajar agama sangatlah besar.
Maka, sepulang sekolah jam 10-an aku pergi kesana sendirian. Kulihat lapangan Kamboja kala itu penuh dengan warna kuning. Baik bendera, banner, maupun spanduknya penuh dengan warna kuning khas partai paling adidaya di Indonesia itu. Tapi, karena kondisi yang sangat ramai, dan aku juga baru datang, aku tidak bisa untuk maju mendekati panggung. Alhamdulillahnya, aku masih dapat nasi bungkus yang dibagikan simpatisan partai waktu itu.
Sekitar jam 11, aku pulang untuk bersiap sholat Jumat. Seperti biasa, aku sholat di masjid dekat rumahku, Masjid An-Nur. Awalnya semua berjalan seperti semula, sampai ketika di tengah khutbah, mulai terdengar suara bising pawai motor. Nampaknya, suara itu berasal dari motor-motor pemuda simpatisan partai kuning. Pelaksanaan Sholat Jumat yang harusnya khusyu’, kini berubah. Terlihat dari muka para jamaah yang berusaha menahan kesal dan amarah karena bisingnya motor yang berlalu lalang, pawai melewati masjid.
Dan benar saja, tepat seusai sholat, amarah yang sudah ditahan sedari tadi kini pun pecah. Orang berteriak, “Datangi kantor si Kuning!!”, disambut dengan yang lain, “Ya benar, g*bl*k!! Mana otaknya?! Kita lagi sholat Jumat,mereka malah berisik seenaknya. Datangi!”
Orang-orang kemudian pulang ke rumah untuk mengambil senjatanya masing-masing, kemudian berbondong-bondong mendatangi kantor DPD Partai Kuning. Kebanyakan dari mereka memakai atribut partai Hijau. Yups, ternyata kebanyakan jamaah masjid An-Nur adalah simpatisan Partai Hijau. Aku awalnya cukup kepo dengan keadaan, makanya aku coba lihat dari kejauhan. Waktu itu ribuan satgas partai Kuning berhadapan dengan ribuan demonstran yang kali ini orang-orang diluar jamaah An-Nur pun ikut datang kesana. Siang berjalan begitu panasnya karena keributan yang terjadi. Kekacauan mulai benar-benar dimulai tatkala ada kabar yang datang bahwa masjid An-Nur hendak dibakar. Seketika itu pula, massa makin tersulut emosinya. Mereka bahkan mulai membakar fasilitas umum, gedung pemerintahan, dan juga gereja-gereja dan seisinya.
Massa yang kini mulai tak terkendali, membuat keadaan kota menjadi kacau balau, suram, dan penuh api.
“Bakar-bakar!!”, seru salah seorang provokator.
“Orang-orang biadab di pemerintahan itu harus dibunuh! Selama ini kita dibiarkan hidup susah sementara mereka asyik nikmati duit negara!”, sambut yang lain.
“Semua ini juga pasti ada kaitannya dengan orang-orang Cina!”
“Betul! Sudah lama aku memendam kesal dengan mereka!”
Mendengar arus kekacauan yang kini sudah melebar, tak hanya tentang masjid An-Nur dan simpatisan partai Kuning, tapi sekarang, isu etnis pun dibawa. Aku pun yang waktu itu masih linglung dengan kacaunya kota, lantas bergegas pulang untuk menyelamatkan diri.
Di rumah, kudapati hanya adikku saja. Oh iya, Ibu, Ayah! Seketika aku ingat kedua orang tuaku mesti sedang dalam bahaya. Ibuku sedang menjaga toko di pasar. Sedangkan Ayah bekerja menjadi karyawan di sebuah toko di Mall Mitra Plaza. Setelah aku menyuruh adikku untuk tidak kemana-mana, tetap di rumah saja, aku langsung berlari keluar rumah menuju toko ibuku. Aku melihat kekacauan kota Banjarmasin dengan mata kepalaku sendiri. Kini kekacauan telah menyebar ke seisi kota. Aku melihat banyak orang yang dipukuli sampai entah dia masih hidup atau tidak. Beberapa simpatisan partai Kuning yang selamat, buru-buru melepas atribut partai nya supaya tidak dipukuli. Bahkan mereka rela hanya memakai pakaian dalam, daripada dianggap bagian dari partai kuning sehingga nyawa mereka terancam. Di tengah kekacauan yang melanda, kulihat dari jauh asap muncul dari sebuah gedung tinggi.
“Ya Allah, mungkinkah apinya dari tempat ayah bekerja?” Aku menangis sambil berharap semoga perkiraanku tidak terjadi.
“Aku mohon, selamatkan Ayah dan Ibuku, Ya Allah!” Aku memohon dalam hati dengan isak tangis yang tidak bisa kutahan lagi.
Aku tetap berlari ke toko ibu sembari berharap semuanya baik-baik saja. Syukurlah, aku masih bisa sampai dan melihat ibu dari balik kerumunan. Walaupun keadaan sekitar sangatlah mencekam. Tak lama kemudian, tatkala ibu sedang mencoba menyelamatkan barang di toko, datang segerombolan orang sambil berteriak, “Bakar toko ini, yang punya orang Cina!”, mereka kulihat langsung menuangkan bensin ke arah tokoku kemudian membakarnya.
“Jangan!!” Aku teriak mencoba mencegah amukan massa. Oh iya, Ibu! Ibu masih di dalam! Aku bergegas mencoba masuk ke dalam, tapi kemudian beberapa orang menabrakku hingga aku terjatuh membentur batu, dan seketika kesadaranku menghilang.
Saat sadar, aku sudah berada di rumah sakit. Di sana sudah ada paman dan bibiku yang mengitari ranjangku. “Kamu sudah sadar, Putra?”
“Mana Ayah, mana Ibu?”, aku bertanya dengan tidak sabar. Aku tidak peduli dengan keadaanku, aku ingin tahu dulu bagaimana kabar Ayah dan Ibuku.
“Mana Ayah dan Ibu, bi? Paman? Tolong jawab!”, tanyaku sambil histeris menangis.
Mendengar pertanyaanku, paman dan ibuku hanya terdiam. Gara-gara ini juga aku semakin yakin kalau semua tidak sedang baik-baik saja.
“Maafkan Bibi, tapi Mall Mitra Plaza tempat ayahmu bekerja semua terbakar. Sampai saat ini juga, ayahmu belum bisa ditemukan. Sedangkan Ibumu, ditemukan sudah tidak bernyawa di tokonya dengan luka bakar yang amat parah. Kau sendiri diselamatkan oleh tetanggamu, Pak Tarno.” Jelas Bibi Mei dengan ragu.
“Huaaa, hiks, hiks..” Aku seketika menangis sejadi-jadinya di rumah sakit waktu itu. Dua orang yang paling kusayangi kini sudah tiada.
“Kenapa aku harus selamat, kenapa aku tidak ikut mati saja? Kenapa aku harus diselamatkan?” Kamar tempatku dirawat pun pecah dengan tangisan. Paman dan Bibiku langsung memelukku, sambil menenangkanku dan menyuruhku untuk bersabar. Satu-satunya yang bisa kusyukuri hanyalah, adikku selamat dari kejadian ini, dia berhasil dievakuasi dari rumah ke pengungsian.
Tak bisa kugambarkan, bagaimana rasa sakit hatiku waktu itu, semangatku kandas untuk menjalani hidup di minggu-minggu setelah kejadian itu. Aku bahkan saat itu membenci agamaku sendiri, yang baru saja ku peluk tiga tahun sebelumnya. Kebencianku kepada pemeluknya yang radikal, membuatku membenci agamanya.
Beruntung, ada paman dan bibiku. Mereka berdualah yang kemudian membawaku dan adikku ke Jakarta untuk tinggal bersama mereka. Paman Heri dan Bibi Mei jugalah yang mengenalkan islam kepada kami dulu sehingga kami mualaf sekeluarga.
Di Jakarta, aku mengenyam pendidikan yang cukup, tak ketinggalan juga belajar ilmu agama. Adalah Ustadz Ridwan, yang kemudian membimbingku untuk senantiasa bersabar atas ujian yang Maha Kuasa berikan kepada kami. Ajaran tentang Islam yang sebenarnya mengajarkan cinta, namun kadang diselewengkan oleh pemeluknya sendiri. Karena ini pula aku yakin, kacaunya kota, tidak sebabkan oleh para jamaah An-Nur, aku kenal mereka. Tapi para provokator lah yang memulai semuanya. Mereka meneriakkan hasutan-hasutan yang membuat semuanya menjadi tak terkendali.
Kini, setelah berdamai dengan semua yang terjadi, aku dan adikku, ditemani paman dan bibi, memberanikan diri untuk kembali mengunjungi Kota Banjarmasin. “Maafkan aku Ibu, Ayah, aku baru bisa berkunjung setelah 10 tahun. Aku sebelumnya belum bisa menerima keadaan, dan masih belum bisa melupakan kejadian mengerikan itu”.
Putra, Banjarmasin, 23 Mei 2007
Penulis: Ari Bola
Editor: Sobrun Jamil