Untuk mendeskripsikan seorang Kuntowijoyo, Anda bisa pilih salah satu dari tiga predikat berikut: sastrawan, sejarawan, atau cendekiawan —atau langsung ketiganya. Sebagaimana yang akan saya ulas nanti, alasannya adalah karena Kuntowijoyo memiliki sumbangsih besar terhadap corak keilmuan di Indonesia. Kepiawaiannya menulis, kedalaman minat dan ilmunya terhadap sejarah, serta buah gagasan-gagasan konstruktif miliknya untuk bangsa, merupakan sebab yang cukup konkret untuk para scholars menjadikan Kuntowijoyo sebagai panutan.
Melihat biografi singkat dan riwayat pendidikannya, Kuntowijoyo lahir di Bantul, 18 September 1943. Beliau menempuh pendidikan formal dasar dan menengah pertamanya di Klaten kemudian lanjut ke jenjang SMA di Solo. Kuntowijoyo mendapatkan gelar sarjana dari Universitas Gajah Mada pada tahun 1969 dan gelar Master berhasil diraihnya pada tahun 1974 dari Universitas Connecticut di Amerika Serikat. Selanjutnya, gelar PhD ilmu sejarah didapatnya dari Universitas Columbia. Kembali ke Indonesia, beliau mengajar di Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada dan terakhir menjadi guru besar ilmu budaya.
Ketertarikannya dalam dunia tulis-menulis sudah dimulai sejak bangku SMA. Beliau senang menulis cerpen, kemudian secara bertahap menulis sajak, esai, dan roman. Konsistensi cintanya terhadap sastra dibuktikan dengan terus aktif menulis hingga berbuah pada keberhasilannya meraih banyak penghargaan. Beberapa diantaranya, beliau pernah mendapatkan penghargaan SEA Write Award dari Kerajaan Thailand pada tahun 1999. Pada tahun yang sama, kumpulan cerpen ‘Dilarang Mencintai Bunga-Bunga’ mendapat penghargaan dari Pemerintah RI melalui Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Meski banyak orang lebih mengenalnya sebagai sastrawan dan budayawan, Kuntowijoyo lebih dari sekadar itu. Sikap kritis beliau sering membuatnya gerah dan bertanya-tanya akan banyak hal, terlebih jika berkaitan dengan tanah airnya sendiri. Berdasarkan riwayat pendidikannya, beliau merupakan seorang akademisi dan sejarawan. Oleh karenanya, latar belakang ini beliau manfaatkan untuk berupaya menciptakan gagasan-gagasan baru. Berbeda dari kebanyakan, hal ini beliau buktikan dengan mempublikasikan tulisan-tulisan yang sampai hari ini masih terus diajarkan.
Sebagai sejarawan, beliau mengakui bahwa Historiografi (penulisan sejarah) di Indonesia amat Neerlandosentris. Maka beliau menggagas orientasi baru sejarah; makna dan tujuan historiografi harus diartikan sebagai penanaman kesadaran sejarah, perhatian sejarah, dan penilaian sejarah ke dalam pemikiran.
Penilaian sejarah muncul setelah kesadaran sejarah dan perhatian sejarah. Penilaian sejarah bukan hanya merupakan analisis kritis mengenai ciri-ciri, peristiwa, dan perkembangan sejarah, tetapi yang lebih penting lagi dalam hal ini merupakan penilaian etik mengenai fenomena sejarah.
Misalnya, bagi sejarah masyarakat muslim, penilaian etik berarti evaluasi mengenai apakah institusi-institusi Islam, ciri-ciri, perbuatan-perbuatan, pikiran-pikiran dan peristiwa-peristiwa Islam sejalan dengan kebijaksanaan sejarah. Penilaian sejarah akan memberikan banyak contoh sejarah kepada masyarakat mengenai bagaimana mereka harus melaksanakan misinya dalam situasi konkret. Penilaian etik terhadap sejarah, secara khusus, berarti analisis kritis terhadap sejarah dengan kesadaran sejarah sebagai ukuran dan perhatian sejarah sebagai referensi.
Ide konstruktif milik Kuntowijoyo lainnya juga bisa kita lihat dari salah satu kutipan berikut :
“Kita sebagai bangsa haruslah belajar dari sejarah, supaya lebih arif dan tidak terperosok pada lubang yang sama. Dalam proses belajar dari sejarah itu, kita jangan jadi tawanan masa lalu, biarkan sejarah itu terbuka dan bergerak maju”.
Kuntowijoyo selalu menggaungkan sejarah sebagai kritik sosial. Maksudnya adalah, bahwa sejarah yang dibentuk tidak hanya menjelaskan perubahan sosial, tetapi juga memberi petunjuk ke arah mana transformasi itu dilakukan. Gagasan beliau; hendaknya makna sejarah tidak sekadar mengubah demi perubahan, tetapi mengubah berdasarkan cita-cita perubahan yang diidamkan masyarakat.
Sumbangsih beliau yang paling besar untuk corak keilmuan negara kita adalah Ilmu Sosial Profetik. Menariknya adalah, gagasan beliau ini tercipta melalui pembacaannya pada Al-Quran. Menurutnya, Surat Ali Imran ayat 110 adalah bentuk konkret misi historis Islam:
“Engkau adalah umat terbaik yang diturunkan di tengah manusia untuk menegakkan kebaikan, mencegah kemungkaran (kejahatan) dan beriman kepada Allah”.
Cita-cita profetik berarti perubahan yang berdasar pada cita-cita humanisme (emansipasi), liberasi (pembebasan), dan transendensi. Transendensi adalah upaya mengarahkan tujuan hidup manusia agar bisa hidup secara bermakna. Nilai-nilai transendental ini adalah nilai-nilai Ketuhanan sebagaimana diajarkan di dalam Islam.
Nilai-nilai Ketuhanan ini yang mengarahkan manusia untuk menemukan nilai-nilai luhur kemanusiaan; atau dengan kata lain mengajak manusia menjalankan nilai-nilai kemanusiaan itu menuju ke nilai-nilai Ketuhanan. Maka dalam wacana Ilmu Sosial Profetik oleh Kuntowijoyo, 3 pilar utama tadi berjalan linear dari kemanusiaan menuju kepada Ketuhanan.
Demikian pula ketika melihat Pancasila. Bagi Kuntowijoyo, Pancasila adalah objektivikasi Islam. Dinyatakan bahwa Pancasila adalah ideologi terbuka, artinya sanggup menyerap unsur-unsur luar; apa yang terbuka kalau bukan ilmu?
Andaikata Islam juga mengubah pendekatan dari ideologi ke ilmu, maka pertemuan antara Islam dan Pancasila adalah pertemuan Ilmiah, yang terbuka, rasional dan objektif. Perlu diketahui bahwa sila-sila dalam Pancasila tidak satupun yang bertentangan dengan Islam.
Pancasila harus dimasyarakatkan sebagai rujukan bersama semua golongan, ras, suku, dan kelompok kepentingan. Semua agama perlu melihat Pancasila sebagai suatu objektifikasi ajaran agama, sebagai rujukan bersama.
Cendekiawan muslim. Inilah predikat yang tepat untuk seorang Kuntowijoyo. Mari kita lihat bagaimana cara Kuntowijoyo mengimplementasikan ajaran islam sebagai ajaran Rahmatan lil ‘Aalamin. Menjadi Islam yang ramah, yang cocok dengan kultur Indonesia:
“Dengan berpikir objektif dan melihat realitas yang ada, kini saatnya Islam dipahami sebagai ilmu, bukan sebagai mitos atau ideologi. Ketika Islam dijadikan ilmu, usaha terpokok adalah memobilisasi kesadaran masyarakat. Kuncinya bukan lagi Negara, tetapi sistem. Dulu ada upaya mencapai Negara yang ideal, sekarang beralih menjadi upaya mencapai sistem yang rasional. Di situ negara hanya merupakan satu aspek dari sistem. Perjuangan pun tidak hanya tergantung pada parlemen, namun bisa lebih luas. Berpikir Islam sebagai Ilmu, maka menjadi formulasi yang teoritis. Ia selanjutnya berkembang menjadi disiplin ilmu dan memiliki program aplikasi, misalnya ilmu sosial Islam”.
Dengan mengenal sosok seperti Kuntowijoyo, kita seperti mendapat secercah harapan yang cerah untuk masa depan bangsa. Gagasan Ilmu Sosial Profetik oleh Kuntowijoyo adalah bentuk konkret tentang integrasi ilmu dengan agama. Kuntowijoyo patut menjadi contoh bagi generasi setelah kepergiannya. Dari sosok beliau kita bisa belajar menjadi seorang manusia dengan aspek yang utuh dalam beragama, berilmu pengetahuan, dan bermasyarakat.
Sumber :
https://id.wikipedia.org/wiki/Kuntowijoyo
https://muhammadiyah.or.id/kuntowijoyo-cendekiawan-muslim-sejarawan-tulen-dan-kader-muhammadiyah/
https://business-law.binus.ac.id/2019/05/02/antara_humanisasi_liberasi_transendensi/
Kuntowijoyo dan Pemikirannya : Dari Sejarawan sampai Cendekiawan
oleh : Miftahuddin, M. Hum, Prof. Dr. Ajat Sudrajat, M. Ag, Drs, Djumarwan (Diterbitkan Universitas Negeri Yogyakarta)
Penulis: Muhammad Aqilsyah
Editor: Baira Rahayu