Pramoedya Ananta Toer : Sastrawan Penggerak Perlawanan

Sumber: nggalek.co

Lahir di Blora, Jawa Tengah, pada 6 februari 1925 dengan nama asli Pramoedya Ananta Mastoer, tapi karena merasa bahwa namanya terlalu feodal ia menanggalkan kata “mas” di dalam namanya dan melanjutkan hidupnya dengan nama Pramoedya Ananta Toer.

Pramoedya adalah seorang penulis dengan gaya penulisan ditandai oleh narasi yang sangat kuat, penggambaran karakter yang mendalam, dan penggunaan bahasa yang sangat kaya. Ia sering menggunakan teknik naratif yang kompleks dan digambarkan sebagai seorang penulis yang sangat berperasaan. Tulisannya mengandung makna yang sangat dalam, sehingga mengundang pembaca untuk merenungi isu-isu sosial politik yang diangkatnya. Bahkan kisahnya bisa tercermin dalam karyanya yang penuh perjuangan dan kritik sosial. Pada awal karirnya, ia banyak menulis esai dan artikel yang mengkritik pemerintah kolonial Belanda dan menyoroti ketidakadilan sosial di tengah masyarakat.

Berbeda dengan zaman sekarang, menulis pada zaman Pramoedya merupakan sesuatu hal yang sangat sulit dilakukan terlebih lagi pada tahun 1965 ia ditahan oleh pemerintahan Indonesia yang saat itu dipimpin oleh Soeharto, karena ia melibatkan dirinya dalam gerakan komunis. Selama masa penahanannya, ia mengalami penyiksaan fisik dan psikis. Namun, meskipun demikian, Pram terus menulis dan menciptakan karya-karya dalam gelap dan dinginnya jeruji besi.

Pramoedya menerbitkan novel pertamanya, “Perburuan” (1950). Novel ini menggambarkan anak wedana atau anak pembantu pimpinan yang bernama Hardo pada masa pemerintahan Jepang. Dulu, ia adalah seorang tentara Seinendan, namun ia menjadi buronan Jepang sebab pemberontakan yang dilakukannya terhadap Jepang. Dalam novel pertamanya ini, ia menceritakan secara gamblang tentang bagaimana ketidakadilan dan ketidaksejahteraan rakyat Indonesia pada zaman itu.

Sumber: goodreads.com

Selain novel perburuan yang Pram buat, ia juga berhasil menciptakan karya yang paling terkenal dan berpengaruh bahkan telah diterjemahkan lebih dari 40 bahasa di dunia yaitu tetralogi “Buru”. Tetralogi ini terdiri dari empat novel: Bumi Manusia (1980), Anak Semua Bangsa (1981), Jejak Langkah (1985), dan Rumah Kaca (1988). Karya ini menceritakan perjalanan hidup seorang Minke, tokoh fiksi yang hidup pada akhir abad ke-19 di bawah penjajahan Belanda. Melalui tulisan yang terbilang berani Pramoedya mengkritik penindasan kolonial, ketidakadilan sosial, dan ketidaksetaraan rasial yang menghantui pada masa itu.

Banyak yang beranggapan bahwa karya tetralogi “Buru” ini mengisahkan tentang kisah Pramoedya sendiri, melihat penjelasan yang sangat detail dan melihat pada kisah nyatanya ia sendiri pernah diasingkan oleh pemerintah pada tahun 1965 dan dipenjarakan selama lebih dari satu dekade. Karya ini menjadi simbol perlawanan dan perjuangan, tidak hanya dalam konteks sejarah Indonesia tapi juga sebagai sastra universal yang mengeksplorasi tema-tema seperti hak asasi manusia, kebebasan, dan perjuangan individu melawan ketidakadilan. Karya yang sangat menggemparkan ini dilarang dalam peredarannya dan sangat diburu, karena pemerintah pada kala itu menyatakan bahwa karya Pramoedya yang satu ini mengandung pesan Marxisme-Leninisme yang dianggap tersirat dalam kisah-kisahnya, hal ini bahkan langsung dilarang oleh kejaksaan agung dalam kurun waktu 1-2 bulan setelah diterbitkan.

Selain menulis Pria yang akrab disapa Pram ini ternyata juga terjun ke dunia perfilman walaupun bukan dalam jangka waktu yang sangat lama, namun kontribusinya dalam dunia perfilman patut diacungi jempol, dalam dunia perfilman ini, beberapa karya Pram diangkat menjadi sebuah film, bahkan beberapa diantaranya naskah dalam film yang tayang dibuat oleh Pram seorang diri.

Beberapa film yang diadaptasi dari karya seorang Pramoedya adalah: Rindu Damai, Peristiwa Surabaja Gubeng, Buruh Bengkel, Biola, Midah Si Manis Bergigi Emas sampai yang paling terbaru adalah Bumi Manusia.

Sumber: journal.unusida.ac.id
Dengan banyaknya karya yang dihasilkan, Pram meraih pengakuan baik di dalam maupun luar negeri. Kepopuleran karyanya membuatnya mendapat banyak perhatian Internasional dan menjadi perwakilan sastra Indonesia di kancah global. Karya-karya Pramoedya yang menggambarkan sejarah dan budaya Indonesia ini sangat membantu memperkenalkan negara dalam lingkup dunia. Pram juga banyak menggaet penghargaan atas kerja kerasnya dalam menciptakan karya, seperti pada tahun 1988 PEN/Barbara Goldsmith Freedom untuk Penghargaan Menulis sampai pada satu tahun sebelum kepergiannya, ia juga mendapatkan penghargaan Global Intellectuals Poll dari Prospect.

“Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari.” Salah satu quote Pramoedya dari tetralogi Buru, “Anak Semua Bangsa”.

Pada 27 April 2006, Pram sempat tak sadarkan diri dan dilarikan ke rumah sakit, dokter mendiagnosa bahwa Pram menderita radang paru-paru ditambah dengan komplikasi ginjal jantung dan diabetes, hal ini didukung oleh kebiasaan buruk merokok yang telah dilakukan oleh Pram selama bertahun-tahun lamanya. Pada saat itu Pram menolak untuk dirawat di Rumah sakit dan meminta keluarganya untuk membawanya pulang, hal ini tentu tidak diindahkan oleh dokter yang merawatnya tetapi Pram bersikeras untuk pulang kerumah dan menjalani pengobatan di rumah, kondisi Pram sempat membaik akan tetapi tidak lama kemudian tepat pada 30 April 2006 pukul 08.55 Pram dinyatakan telah menghembuskan nafas terakhirnya di usianya yang telah menginjak 81 tahun.


Sumber: kawahbuku.com

Walaupun telah meninggal dunia sosok Pram tetap menjadi salah satu tokoh yang paling penting dalam sejarah sastra Indonesia dan seorang intelektual yang kuat dalam perjuangan sosial. Melalui karyanya, ia tidak hanya menggambarkan realita sosial dan politik Indonesia, tetapi juga memperkenalkan negaranya kepada dunia. Meskipun Pram hidup dengan segala kontroversinya ia telah membuktikan bahwa sastra memiliki kekuatan untuk mempengaruhi perubahan dasar sosial dan politik, bahkan dalam keadaan yang sangat sulit sekalipun.


Penulis: Mirta Mukharomah
Editor: Sobrun Jamil


Referensi:

Metrotv News: https://web.archive.org/web/20180831212012/http://news.metrotvnews.com/read/2018/05/29/881128/empat-film-adaptasi-karya-pramoedya-ananta-toer-sebelum-bumi-manusia

Britannica : Pramoedya Ananta Toer | Indonesian Novelist, Activist & Political Prisoner | Britannica


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak