Dilansir dari situs Kementerian PUPR Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang, Pembangunan IKN tahap 1 sudah 38% dari target rampung di tahun 2024. Pembangunan IKN tahap 1 ini meliputi infrastruktur dasar ibukota termasuk kawasan inti kantor pemerintahan pusat. Sejauh ini, pembangunan sudah on the right track dan sesuai jadwal progres pembangunan. Pembangunan IKN secara keseluruhan ditargetkan rampung di usia 100 tahun Republik Indonesia yaitu tahun 2045.
Terdapat beberapa alasan mendasar pemindahan Ibukota Negara sebagaimana yang dijelaskan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS);
1) Tingginya kesenjangan akibat Jawa-sentris yang disebabkan posisi Ibukota Negara tidak terletak di titik sentral negara. 2) Jakarta sangat rawan bencana alam dan berada dalam ring of fire. 3) Ledakan pertumbuhan penduduk setiap tahunnya menjadikan kepadatan di Jakarta semakin sulit teratasi. Akibat kemacetan di Jakarta tersebut, ketidakefektifan ekonomi terjadi dan per 2019 Indonesia mengalami kerugian ekonomi sebesar 100 triliunan/tahun. 4) Resiko banjir dan permukaan tanah yang terus menurun. 5) Kualitas air yang buruk dan menyusutnya ketersediaan air bersih, 96% kualitas air di Jakarta tercemar berat. 6) Jakarta menjadi salah satu kota dengan kualitas udara terburuk di dunia. 7) Ibukota yang dibutuhkan mencerminkan identitas bangsa, modern, berkelas Internasional (smart and green city).
Melihat data tersebut, saya kira memang Indonesia perlu memindahkan ibukota. Akan tetapi, kita perlu mengawal secara ketat proyek IKN. Karena berdasarkan temuan WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) dan tinjauan akademik, ada beberapa tendensi yang justru hanya akan menguntungkan beberapa pihak dan cita-cita yang didambakan berakhir jadi isapan jempol belaka.
Pemerintah memiliki wewenang dan kewajiban untuk melindungi dan mengelola lingkungan hidup sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Konsep Ibukota baru yang dicanangkan asumsinya adalah green city. Namun, pada faktanya lokasi Ibukota negara baru memiliki beberapa resiko ekologis seperti; 1) Tsunami. Radius 40 kilometer di pesisir wilayah IKN berpotensi terdampak karena menghadap Selat Makassar. 2) Kebakaran hutan. Penajam Paser Utara dikelilingi spot rawan. 3) Tanah yang sangat kering. 4) Rawan banjir. Sedimentasi sungai dari aktivitas pertambangan.
Pemerintah juga tidak terbuka dengan menolak membuka informasi tentang kajian lingkungan atau AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup). Hal ini menimbulkan kecurigaan dan bertentangan dengan statement pemerintah yang menggadang-gadang IKN sebagai Green City. Pada saat bersamaan, pembangunan IKN diduga bertentangan dengan Peraturan Presiden no. 73/2012 tentang Strategi Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove dan demi menyelesaikan proyek IKN tahap 1 sebelum 2024, pemerintah akan menggunakan bahan bakar fosil.
Diantara catatan hitam dari IKN lainnya adalah proyek ini dilaksanakan di wilayah yang merupakan bekas daerah galian tambang. Luas keseluruhan IKN yang direncanakan mencapai 180,965 ribu hektar. Pemerintah mengklaim bahwa tanah tersebut adalah ‘lahan kosong’ dan sebagian besar merupakan milik negara. Namun, perlu diingat di wilayah IKN terdapat sekitar 185.535 (2017) jiwa yang terbagi dalam 4 kecamatan. Masyarakat di sana sudah cukup terdiskriminasi dengan perusahaan-perusahaan tambang.
Ketika proyek IKN berjalan, tentunya penggalian tambang akan dihentikan. Sehingga muncul spekulasi baru, bahwa IKN akan menjadi pemutihan bagi pengusaha. Perlu diketahui konsesi-konsesi besar tambang di wilayah IKN terafiliasi dengan nama-nama elite di Jakarta seperti Luhut Binsar Panjaitan, Setya Novanto, Yusril Ihza Mahendra dan Prabowo Subianto.
Masalah lain serta beberapa kekhawatiran juga muncul dari warga calon ibukota baru. Misalnya, para nelayan di Teluk Samarinda yang terkejut dengan keputusan dari pemerintah setempat yang ternyata sudah melarang penangkapan ikan di tempat mereka biasa memenuhi kebutuhan hidup harian mereka, dan pelarangan ini tanpa sosialisasi kepada masyarakat. Keluhan lainnya adalah warga khawatir dengan nasib anak cucu mereka, berkaca dari warga asli Jakarta yang tergusur dari tanah mereka sendiri. Dengan raut kepedihan, mereka membayangkan jika suatu saat nanti justru mereka sebagai pribumi yang seharusnya diprioritaskan, malah terlantar di kolong jembatan.
Saya sendiri sebagai penulis miris dan khawatir. Beberapa waktu lalu, Presiden Joko Widodo mengundang jajarannya dan artis-artis ibukota ke proyek IKN. Hemat saya, ini hanyalah penggiringan opini publik agar IKN mudah diterima masyarakat Indonesia secara luas. Padahal tidak jauh dari IKN, warga asli sedang khawatir, cemas, dan resah dengan masa depan mereka sendiri.
Tentu di sisi lain, segala upaya yang dilakukan untuk kemajuan bangsa harus menjadi prioritas dan didukung. Justru karena itu, kita harus mengawal dan secara aktif mengawasi serta memberikan rekomendasi kepada pemerintah. Agar kemajuan itu tidak menjadi gemerlap di balik ketimpangan yang sedang ditutupi. Agar kemajuan itu bisa dirasakan oleh seluruh masyarakat Indonesia.
Penulis: Muhammad Aqilsyah
Editor: Baira Rahayu