Berbeda dari sisi keluarga ayahnya, Ibunda Kartini yaitu M.A. Ngasirah tidak memiliki darah bangsawan, melainkan hanya rakyat biasa. Hal ini bertentangan dengan peraturan kolonial Belanda ketika itu yang mengharuskan seorang Bupati menikah dengan seseorang dari keturunan bangsawan juga. Maka dari itu, sang ayah kemudian mempersunting seorang wanita bernama Raden Adjeng Woerjan yang merupakan bangsawan keturunan langsung dari Raja Madura ketika itu.
Pemikiran-Pemikiran R.A Kartini Tentang Emansipasi Wanita
Meskipun berada di rumah, Kartini aktif dalam melakukan korespondensi atau surat-menyurat dengan temannya yang berada di Belanda, sebab ia juga fasih dalam berbahasa Belanda. Sejak saat itulah Kartini mulai tertarik dengan pola pikir perempuan Eropa yang ia baca dari surat kabar, majalah, serta buku-buku. Sampai suatu saat, ia mulai berpikir untuk berusaha memajukan perempuan pribumi sebab dalam pikirannya, kedudukan wanita pribumi masih tertinggal jauh atau memiliki status sosial yang cukup rendah kala itu.
Kartini banyak membaca surat kabar atau majalah-majalah kebudayaan eropa berbahasa belanda yang menjadi langganannya. Pada usianya yang kedua puluh, ia bahkan banyak membaca buku karya Louis Coperus yang berjudul De Stille Kraacht, buku karya Van Eeden, Augusta de Witt, serta berbagai roman aliran feminis yang keseluruhannya berbahasa belanda. Selain itu, Kartini juga membaca buku karya Multatuli yang berjudul Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta.
Ketertarikannya dalam membaca, membuat Kartini memiliki wawasan yang cukup luas soal ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Khususnya pada masalah emansipasi wanita, perhatian Kartini tertuju pada perbandingan antara wanita eropa dan wanita pribumi. Selain itu, ia juga menaruh perhatian pada masalah sosial yang terjadi. Menurutnya, seorang wanita perlu memperoleh persamaan, kebebasan, otonomi, serta kesetaraan hukum.
Surat-surat yang Kartini tulis lebih banyak berupa keluhan-keluhan mengenai kondisi wanita pribumi saat itu, dimana ia melihat kebudayaan jawa yang lebih banyak menghambat kemajuan para perempuan pribumi. Ia juga mengungkapkan dalam tulisannya tentang berbagai kendala dan penderitaan perempuan di jawa, seperti harus dipingit, tidak bebas dalam menuntut ilmu dan belajar, serta adanya adat yang mengekang kebebasan perempuan.Cita-cita luhur Kartini adalah keinginannya untuk melihat perempuan pribumi dapat menuntut ilmu dan belajar seperti sekarang ini. Gagasan-gagasan baru mengenai emansipasi atau persamaan hak wanita pribumi oleh Kartini, dianggap sebagai hal baru yang dapat merubah pandangan masyarakat. Selain itu, tulisan-tulisan Kartini juga berisi tentang makna Ketuhanan, kebijaksanaan dan keindahan, perikemanusiaan dan juga Nasionalisme. Kartini juga menyinggung tentang agama, misalnya ia mempertanyakan mengapa laki-laki dapat berpoligami dan mengapa kitab suci harus dibaca dan dihafal tanpa perlu kewajiban untuk memahaminya.
Perjuangan Kartini melawan diskriminasi mendorong perempuan modern saat ini untuk berani melawan stereotip ‘perempuan ujung-ujungnya jadi ibu rumah tangga saja’. Pada kenyataannya, para perempuan tidak perlu ragu karena sejatinya, mereka memiliki hak dan kesempatan yang sama dalam mengejar mimpi dan cita-citanya untuk mengenyam pendidikan tinggi. Dalam bukunya “Habis Gelap Terbitlah Terang”, Kartini mengeksplorasi topik-topik yang relevan dengan kehidupan wanita pada masa itu, seperti pendidikan, perkawinan, kesetaraan gender, dan kebebasan berbicara. Salah satu tema utama yang diangkat oleh Kartini adalah pentingnya pendidikan bagi wanita.
Pendidikan adalah kunci untuk membuka pintu kebebasan bagi wanita Indonesia. Kartini juga mengkritik tradisi yang dianggapnya merugikan perempuan, seperti adat poligami dan perjodohan yang sering kali dilakukan tanpa mempertimbangkan keinginan wanita yang bersangkutan. Buku ini menjadi sangat terkenal karena surat-surat yang ditulis oleh Kartini memperlihatkan kecerdasan, keberanian, dan kegigihan dari seorang wanita muda yang berjuang untuk hak-haknya. Dalam surat-suratnya, Kartini juga mengkritik budaya patriarki yang sangat mengatur hidup wanita Indonesia. Berkat buku ini, Kartini dianggap sebagai pahlawan nasional yang berjuang untuk kesetaraan gender dan kemerdekaan bangsa Indonesia.
Buku ini juga memberikan wawasan yang lebih dalam tentang kehidupan sosial dan budaya Indonesia pada awal abad ke-20, serta memberikan gambaran tentang sejarah perjuangan perempuan Indonesia. Dengan kata lain, Kartini telah begitu berjasa dalam memberikan wawasan penting mengenai kehidupan wanita pada masa itu dan memperlihatkan keberanian seorang wanita muda dalam berjuang untuk kebebasannya. Oleh karenanya, untuk mengenang jasa Kartini, tetaplah semangat dalam menggapai impian kita masing-masing!
Referensi: Kartini, R.A., (1911). Habis Gelap Terbitlah Terang. Surabaya: G.C.T. van Dorp & Co.
Penulis: Annisa Epriliana Putri
Editor: Baira Rahayu