Catatan Konstantinesia dalam Pemilu 2024: Obituari Demokrasi Indonesia


Pemilihan presiden dan wakil presiden Indonesia telah berlangsung 14 Februari lalu, kita telah menyaksikan seluruh atraksi kampanye, dan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan kontestasi pemilu. Saat ini kita sudah tahu siapa pemenangnya menurut quick count dan real count yang berasal dari KPU (Komisi Pemilihan Umum) dan hampir semua indikator penghitungan suara sudah mengeluarkan data dengan angka yang berhasil diunggulkan oleh paslon 02.

Sementara ini paslon 02 unggul di angka 58,83% (Sumber: https://pemilu2024.kpu.go.id/) perhitungan real count dengan data yang masuk sebesar 77,75%  paling tidak dari sini kita sudah tahu siapa yang akan memimpin Indonesia lima tahun mendatang. Dalam sebuah pesta pemilu, demokrasi menjadi substansi dan alat penting yang digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu oleh masing-masing calon penguasa, namun kita bisa menilai di pemilu tahun ini perlahan-lahan demokrasi semakin terkikis.

Belum mati secara utuh memang hanya saja sedang kritis dan menunggu ajal menjemputnya, keadaan demokrasi yang semakin kritis pada pemilu tahun ini dimulai dari Jokowi yang merestui putra sulungnya Gibran Rakabuming Raka untuk maju menjadi cawapres yang dipasangkan oleh Prabowo Subianto, Gibran maju dengan muka tebal menerobos demokrasi dengan iming-iming mewakilkan suara anak muda, generasi z dan milenial yang menjadi voters terbanyak di pemilihan tahun ini.

Dulu 10 tahun yang lalu, sewaktu Jokowi ikut mencalonkan menjadi presiden di tahun 2014. Jokowi hadir sebagai tokoh politik di Indonesia dengan gagasan yang cukup baru melalui programnya yang dinilai progresif, yaitu program dengan julukan ’revolusi mental’, terlebih saat itu persona dirinya juga akrab dengan kaum grass roots (akar rumput) dan semua kelas di Indonesia saat itu saya menaruh harapan bahwa sosoknya adalah representatif yang akan membawa demokrasi semakin maju di Indonesia.


Hingga dua periode berlangsung lalu sampai pada saat ini, hari ini, kita sama-sama menyaksikan langkah yang diambil Jokowi pelan-pelan tapi pasti, pasti telah mengubah kepercayaan rakyat kepadanya menjadi kekecewaan, keraguan, dan kebingungan. Mulai dari Bobby (Menantunya) dan Gibran putra sulungnya yang sama-sama menjadi Walikota dan Anwar Usman adik iparnya yang juga menduduki kursi kekuasaan yaitu ketua Mahkamah Konstitus belum lagi baru-baru ini putra keduanya Kaesang Pangarep yang dengan gesit menjadi ketua di partai kecil bernama Partai Solidaritas Indonesia ( PSI).  Sebuah ironi setelah 25 tahun reformasi, demokrasi yang menjadi landasan telah perlahan diambil ruhnya dan pelan-pelan politik keluarga yang akan berkuasa kelak.

Perilaku-perilaku nir-etika dan empati lainnya dengan gamblang terlihat jelas, selain melegalkan anak sulungnya menjadi cawapres di tengah-tengah hiruk-pikuk bulan pemilu, Jokowi gesit membagikan bansos di depan istana Presiden, yang seharusnya kegiatan ini bisa dilakukan oleh Dinas Sosial masing-masing daerah dengan regulasi yang sudah ditetapkan, tidak sepatutnya dilakukan di tengah-tengah hari kampanye pemilu dan dilakukan oleh presidennya sendiri, dengan seperti ini banyak asumsi dan penilaian terhadap Jokowi bahwa apa yang dilakukannya demi kepentingan tertentu.

Melihat demokrasi kita yang semakin melorot, para akademisi yang berisikan guru besar, profesor, dan dosen di kampus-kampus di Indonesia berbondong-bondong menyuarakan kritikannya terhadap pemerintahan Jokowi, sekitar 20 kampus baik negeri maupun swasta memberikan statementnya. Salah satunya statement dari civitas akademik Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi (STIF) yang dibacakan oleh guru besar filsafat Romo Franz Magnis; filsuf Karlina Supheli, dan dosen filsafat lainnya, dalam statement tersebut mereka mengatakan, Negara Indonesia tidak boleh dikorbankan demi kepentingan kelompok atau pelanggengan kekuasaan keluarga. Sesuai UUD 1945 Indonesia berdiri agar setiap rakyatnya hidup merdeka, bersatu, adil, dan makmur, pemerintah pun dibentuk dengan tujuan seperti itu.

Sayangnya banyak yang merespon aksi para akademisi tersebut hanyalah perilaku partisan, dibayar, dan untuk kelompok paslon atau kepentingan tertentu. Ironis dan menyedihkan. Akademisi dan para civitas terpelajar saat ini sudah tidak dipercaya lagi, dituduh dengan tuduhan yang tidak berdasar tanda-tanda kemunduran suatu bangsa telah terpampang nyata selain demokrasi yang semakin mundur kematian kepakaran telah tercium baunya. Ketika peran akademisi dan kampus dikerdilkan oleh rezim yang anti kritik dan tidak demokratis pelan-pelan Indonesia akan mengalami kemunduruan harapan menjadi Indonesia emas 2045 mungkin hanya sampai di ucapan saja.

Menurut buku How Democracies Die yang ditulis oleh Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt ada 4 indikator perilaku otoriter yang bisa kita deteksi dalam sebuah kekuasaan; Pertama, penolakan atas aturan main demokrasi mereka (pemimpin demagog) melabrak berbagai aturan bahkan Jika memungkinkan mereka, justru membuat atau menyusun aturan-aturan baru.

Kedua, penyangkalan legitimasi lawan politik mereka tidak memandang melawan lawan politiknya sebagai Mitra berkompetisi dan sebagai kelompok lain yang juga memiliki suara yang pada dasarnya memiliki tinggi yang sama dengan dirinya untuk melakukan perbaikan. Ketiga, toleransi atau anjuran kekerasan mereka memposisikan lawan politiknya sebagai kelompok yang harus dan dihilangkan karena memandangnya sebagai ancaman Itulah salah satu perilaku otoriter yang menjadi indikator disebut sebagai demagog, serta tidak segan-segan menggunakan kekuatan sipil atau para militer untuk menekan lawan-lawan politiknya.

Keempat, kesediaan membatasi kebebasan sipil lawan termasuk media. Media bisa mereka lumpuhkan dengan cara membeli menguasai dan kemudian mereka dengan media ini bisa melakukan propaganda untuk menghancurkan lawan-lawan politiknya, mengekang kebebasan sipil dan bisa membuat aturan-aturan, yang membuat kebebasan sipil itu hilang atau berkurang.

Bivitri Susanti, pakar hukum tata negara di Indonesia juga mengatakan bahwa demokrasi bukan hanya sekadar angka yang tertera dalam perhitungan suara quick count dan real count atau pencoblosan itu sendiri. Demokrasi harus substantif, yang berarti dapat mengulik secara sistematis di belakang serangkaian peristiwa, apa yang sebenanrnya terjadi, mengapa bisa angka itu tertera di perhitungan suara dan bagaimana kita sebagai warga sipil menyikapinya.

Saya tidak tahu apakah ke depannya kita semua bisa leluasa berbicara, mengkritik, membaca, memberi saran, atau berkegiatan-berkegiatan yang sifatnya beroposisi, karena dalam negara demokrasi pihak oposisi sangat perlu dan penting untuk menjaga konstitusi pemerintahan agar tetap demokratis. Sedangkan saat ini demokrasi Indonesia telah mengalami kemunduruan, kekuasaan telah disalahgunakan, keadaan di lapangan seperti harga pangan cenderung tidak stabil, kebebasan berpendapat berpotensi besar dikerdilkan melihat track record Presiden yang nantinya akan memimpin Indonesia memiliki catatan hitam pada HAM dan belum juga diusut tuntas hingga saat ini.


Saya sebagai diaspora dan rakyat biasa hanya bisa melakukan perjuangan semampunya, dengan menuliskan gagasan yang sebagai bentuk sikap dalam menilai lemahnya demokrasi di Indonesia, saya selalu berharap, meski harapan itu entah kapan dapat terjawab, semoga saja ini bukan terakhir kalinya saya menulis kritik terhadap pemerintah. Semoga kita semua masih bisa terus memperjuangkan kebebasaan berpendapat dan berkehidupan. Panjang umur perjuangan!

Ditulis oleh: Salsabila Amalia

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak