“Kita tidak bisa membiarkan penderitaan menjadi sekedar konten yang viral lalu dilupakan.”
Saat Gaza kembali mendapatkan serangan bertubi-tubi dari penjajah—Israel—, linimasa kita penuh dengan bendera Palestina, kutipan solidaritas, serta seruan ‘Free Palestine’. Dalam hitungan hari, jagat media sosial berubah menjadi ruang perlawanan digital penuh empati dan kemarahan.
Namun isu ini tidak pernah bertahan lama, isu Palestina perlahan tergeser oleh tren-tren yang lebih segar, lebih menarik perhatian publik, serta dianggap lebih relevan di beberapa pembahasan lokal. Hari ini berita Palestina, mungkin besok antusiasme dalam konser artis internasional, lalu hari berikutnya kembali ke rutinitas algoritma lain, tidak peduli berapa banyak lagi nyawa rakyat Gaza melayang. Kenapa bisa begitu? Mengapa informasi tentang Palestina begitu cepat naik, lalu cepat pula tenggelam? Mengapa algoritma media sosial tentang Palestina tidak pernah stabil?
Pertanyaan-pertanyaan di atas, mungkin sering menghantui benak pikiran kita. Jawabannya menurut saya adalah sebagian besar terletak pada kinerja algoritma yang dibentuk oleh sistem di dalam media sosial dan perlahan membuat netizen menjadi ‘hanya’ peduli pada hal yang sedang ramai saja.
Media sosial seperti Instagram, Twitter (X), dan TikTok bekerja berdasarkan engagement. Semakin banyak netizen yang membicarakan sebuah isu, semakin tinggi peluang isu tersebut muncul di beranda. Tetapi, ketika isu itu tidak lagi memicu perhatian masyarakat, atau bukan lagi hal yang dianggap menarik, ia tersingkir dari algoritma. Bukan karena isu itu telah selesai, namun karena dunia digital bergerak cepat.
Paus Fransiskus beberapa waktu lalu, sebelum wafat, menegaskan dengan sangat jelas, “Kita menyaksikan tragedi di Gaza dan memilih diam, karena itu bukan lagi trending.” (Dikutip dari wawancaranya di The Guardian, April 2025).
![]() |
Sumber: Pinterest |
Logaritma yang Tak Stabil: Ketika Kepedulian Ditentukan Oleh Mesin
Di balik ramainya linimasa tentang Palestina, ada suatu sistem cerdas yang bekerja di dalamnya: Algoritma. Sistem ini tidak peduli pada kebenaran atau keadilan. Ia hanya fokus pada satu hal–apa yang paling banyak disukai, dibagikan, dan ditonton netizen saat itu. Ketika foto-foto dari Gaza viral, algoritma menampilkannya terus-menerus. Tetapi ketika perhatian publik mulai menurun, algoritma menggantinya dengan isu-isu yang baru. Bukan karena kondisi di Gaza membaik, tapi karena algoritma menilai: isu ini sudah tidak ‘menjual’. Inilah realitas hari ini, ketika kepedulian kita sering kali ditentukan oleh mesin, bukan oleh hati. Kita bicara karena ramai, lalu abai dan diam ketika sepi. Padahal penderitaan warga Gaza tidak pernah benar-benar berhenti. Melihat isu ini, apakah kita benar-benar tidak bisa berbuat apa-apa?
Sebenarnya, kita masih bisa memilih. Kita masih bisa melawan algoritma. Kita bisa menjadikan kepedulian sebagai keputusan sadar, bukan sebagai reaksi tren.
Mulailah dengan sederhana, seperti; membaca berita dari sumber yang benar, jangan hanya terpaku pada linimasa. Ikuti akun-akun yang konsisten menyuarakan kebenaran, walaupun sedang tidak viral. Ajaklah orang di sekitarmu berdiskusi, tulis, dan suarakan. Jangan menunggu ketika keadaan ramai saja. Jika solidaritas hanya hadir di saat sedang ramai, itu bukan solidaritas. Itu hanya euforia saja dan Palestina tidak butuh euforia, mereka butuh keadilan yang tidak lekang. Mereka butuh dunia yang tidak hanya ramai saat ramai, tapi juga setia saat sunyi.
![]() |
Sumber: Pinterest |
Human Rights Watch—Organisasi non pemerintah di Amerika Serikat— menyebut situasi ini sebagai bentuk pembersihan etnis yang tidak terselubung. Bahkan organisasi-organisasi internasional PBB seperti UNICEF dan WHO, secara terbuka menyatakan bahwa warga sipil Palestina menghadapi ‘kehancuran massal’ akibat agresi penjajah—Israel—. Lalu, mengapa dunia masih diam? Mengapa suara-suara besar hanya terdengar saat sudah ada ribuan yang wafat?
Sikap Indonesia dan Turki: Dukungan Penuh, Bukan Basa-Basi?
Prabowo Subianto—Presiden Republik Indonesia— menegaskan komitmen Indonesia dalam mendukung perjuangan rakyat Palestina melalui berbagai upaya diplomatik dan kemanusiaan. Seperti saat ia menghadiri Antalya Diplomacy Forum (ADF) 11 April 2025 di Antalya, Turki, Prabowo mengkritik sikap negara-negara besar yang dinilai abai terhadap prinsip-prinsip keadilan dan kemanusiaan, serta menyerukan keadilan bagi korban tragedi di Gaza.
![]() |
Sumber: Kompas.com |
Adapun sikap Presiden Republik Turki, Recep Tayyip ErdoÄŸan, secara konsisten mengecam tindakan penjajah—Israel—di Gaza dan menyatakan dukungan penuh bagi rakyat Palestina. ErdoÄŸan menyebut penjajah—Israel—sebagai ‘negara teror’ setelah serangan udara yang menewaskan ratusan warga di Gaza, dan menegaskan bahwa Turki tidak akan membiarkan pelanggaran terhadap martabat manusia terus berlanjut. Turki juga berkomitmen untuk meningkatkan upaya diplomatik guna mengembalikan gencatan senjata di Gaza dan menghentikan pembantaian rakyat Palestina. Di mana ErdoÄŸan menegaskan bahwa tidak ada kekuatan yang dapat memaksa warga Gaza meninggalkan tanah air mereka, dan menolak rencana pemindahan warga Gaza ke wilayah lain.
Kedua pemimpin negara ini menunjukkan komitmen mereka dalam mendukung rakyat Palestina melalui berbagai upaya diplomatik dan kemanusiaan. Namun, pendekatan yang diambil berbeda, dengan Indonesia yang fokus pada evakuasi kemanusiaan, sementara Turki menekankan pentingnya mempertahankan hak warga Palestina untuk tetap di tanah air mereka.
Lalu pertanyaannya sekarang, terhadap apa yang terjadi saat ini, apa yang bisa kita lakukan? Kita tidak memiliki kekuatan dan kekuasaan sebesar sebuah negara, tapi kita punya kekuatan untuk konsisten. Kita bisa berani terus berbicara dan bersikap. Kita juga bisa berusaha terus mendukung gerakan boikot terhadap produk-produk yang terafiliasi dengan pendanaan militer penjajah—Israel—. Kita pun bisa membantu mengkampanyekan dan mengedukasi orang-orang agar isu ini tidak lenyap hanya karena berita gosip para artis tanah air ataupun berita-berita lain tidak bernilai.
Karena Palestina bukan sebuah tren belaka. Palestina adalah tonggak perjuangan yang butuh keberpihakan jangka panjang, bukan hanya empati jangka pendek. Semoga kita tidak menjadi bagian dari mereka yang datang saat ramai saja, lalu pergi saat isu lain datang. Karena Gaza tidak pernah benar-benar sepi, hanya kita yang sering memilih untuk menutup mata.
“Solidaritas itu bukan sekedar retweet dan story. Ia harus hidup dalam hati dan tindakan, bahkan saat dunia sudah tidak peduli.” - Muhammad Rifal Dzakhwan Samudera