Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump telah mengumumkan kebijakan Liberation Day Tariffs pada 02 April 2025, kemarin. Kebijakan ini diterapkan pada hampir seluruh negara, beberapa di antaranya bahkan mendapatkan tarif yang sangat tinggi, seperti Cina (145%), Indonesia (32%), dan Uni Eropa (UE) (20%).
Di tengah gejolak pasar global dan reaksi keras dari berbagai negara, Turki justru terlihat tenang dan bahkan optimis. Apakah sikap ini karena Turki merasa diuntungkan—karena hanya dikenai tarif dasar sebesar 10%—atau ada kalkulasi strategis di balik ketenangannya?
![]() |
Sumber: Kompas.com |
Respon dan Langkah Strategis Turki
Berbeda dengan negara-negara lain yang langsung mengecam dan bahkan China telah mengajukan gugatan ke Organisasi Perdagangan Internasional (WTO) atas kebijakan tersebut. Turki mengambil sikap yang lebih diplomatis dan strategis, di mana Presiden Recep Tayyip ErdoÄŸan, dengan optimis menyatakan bahwa pemerintah tidak mengantisipasi dampak negatif secara signifikan terhadap perdagangan, produksi, maupun ekspor. Sikap ini mencerminkan kepercayaan terhadap kekuatan domestik dan strategi jangka panjang Turki.
Kendati demikian, AS tetaplah memiliki pengaruh besar terhadap Turki dengan menjadi pasar ekspor terbesar Turki yang ke-9 pada tahun 2024. Menurut data Institut Statistik Turki (TurkStat), total ekspor Turki ke AS mencapai 16,35 miliar dolar pada tahun 2024. Angka tersebut terbilang sangat jauh, jika dibandingkan dengan total ekspor Turki ke negara-negara Uni Eropa (UE) yang mencapai 108,7 miliar dolar di tahun yang sama, sesuai dengan yang dikatakan ErdoÄŸan. Namun, hal ini tetaplah berisiko bagi Turki, melihat tingginya tarif yang ditetapkan Amerika terhadap UE, tidak menutup kemungkinan negara-negara Eropa akan menurunkan permintaan bahan baku dari Turki.
Beruntungnya, Turki memiliki kekuatan untuk menghadapi masalah tersebut melalui struktur perdagangannya yang sudah terdiversifikasi. Menteri Keuangan Turki, Mehmet ÅžimÅŸek, mengatakan, “Turki memiliki perjanjian bebas dagang bersama total 54 Negara di luar AS dan UE,” lalu tambahnya, “68% ekspor kami pergi ke negara-negara tersebut.” Selain itu, ekonomi Turki yang lebih fokus pada permintaan domestik dibandingkan ekspor, membuat Turki tidak terlalu terpengaruh pada dampak perdagangan global.
Tidak hanya itu, perubahan lanskap perdagangan global justru membuka peluang baru bagi Turki. Ketika negara-negara eksportir utama seperti Chına dan Vietnam kehilangan sebagian aksesnya ke pasar AS karena tingginya tarif, banyak perusahaan global mulai mencari lokasi alternatif untuk memindahkan rantai pasok mereka. Dalam konteks ini, Turki muncul sebagai kandidat yang menjanjikan—berkat letaknya yang strategis di persimpangan Eropa dan Asia, tenaga kerja kompetitif, dan infrastruktur industri yang terus berkembang. Mehmet ÅžimÅŸek bahkan menyebut kondisi saat ini sebagai, kesempatan bagi Turki untuk mengambil posisi yang lebih sentral dalam rantai pasok global, terutama di sektor manufaktur, tekstil, dan otomotif. Di tengah turbulensi global, Turki justru membaca celah untuk memperkuat posisinya sebagai pusat industri regional yang mampu menampung limpahan investasi dan relokasi produksi dari negara-negara yang kini tergencet tarif AS.
Lebih jauh dari sekadar menunggu arus relokasi produksi global, pemerintah Turki secara aktif menggalang Investasi Asing Langsung (FDI) untuk menjaga momentum pemulihan ekonomi. Pemerintah menargetkan investasi sebesar 13 hingga 14 miliar dolar AS sepanjang 2025, dengan fokus pada sektor energi, otomotif, dan manufaktur berteknologi tinggi. Langkah ini didukung oleh pernyataan Presiden Kantor Investasi Kepresidenan Turki, Burak Dağlıoğlu, yang menegaskan bahwa posisi geografis Turki, reformasi kebijakan, dan stabilitas makro ekonomi menjadi faktor kunci daya tarik investor.
Turki juga memperkuat kredibilitas kebijakan moneternya. Di bawah kendali Gubernur Fatih Karahan, Bank Sentral Turki terus menaikkan suku bunga acuan hingga mencapai 46% sebagai bagian dari langkah pengetatan moneter untuk meredam inflasi dan memperkuat nilai tukar lira. Meskipun sebelumnya Presiden ErdoÄŸan mengambil langkah tidak lazim, dengan menekan suku bunga saat inflasi, pada akhirnya ErdoÄŸan melunak dan mendukung kebijakan ini secara politis, setelah mendapat tekanan dari pasar global dan krisis domestik yang tidak kunjung membaik.
![]() |
Sumber: Investing.com TR |
Diplomasi Ekonomi Turki-Amerika Serikat
Untuk memperkuat posisi strategisnya, Turki juga melanjutkan diplomasi ekonomi yang agresif. Pada Rabu (23 April 2025), Mehmet ÅžimÅŸek bersama Gubernur Bank Sentral, Fatih Karahan bertemu dengan Menteri Keuangan Amerika, Scott Bessent, untuk membahas peningkatan kerja sama bilateral antara Turki-AS.
Hasil pertemuan tersebut cukup positif. Turki mendorong penghapusan sejumlah pembatasan yang selama ini menghambat kerja sama industri pertahanan antara kedua negara, serta menawarkan peluang investasi di sektor energi terbarukan dan infrastruktur logistik. Delegasi Turki juga menyampaikan kesiapan negaranya menjadi pusat logistik dan produksi regional, memanfaatkan posisinya di tengah relokasi rantai pasok global. Pihak AS, melalui Menteri Bessent, menyambut baik inisiatif ini, dan menyatakan akan mempertimbangkan langkah-langkah insentif yang dapat memperkuat hubungan ekonomi bilateral jangka panjang.
Menimbang Keuntungan dan Risiko
Dari sini, penulis dapat melihat bahwa Turki telah banyak belajar dari krisis-krisis ekonomi yang dialaminya sejak tahun 2018 hingga sekarang. Turki tampak lebih proaktif dan suportif terhadap kebijakan-kebijakan terbaru. Selain itu, pada situasi saat ini, Turki cukup banyak mendapatkan keuntungan—jika dibandingkan dengan negara-negara lain.
Namun, di samping peluang yang besar, tersimpan risiko yang tidak kalah besar pula. Mengingat kondisi ekonomi Turki yang masih rentan, bukan tidak mungkin Turki kembali terjerembab ke dalam krisis yang serupa. Meskipun suku bunga telah dinaikkan guna meredam inflasi, ketidakstabilan politik domestik dapat menurunkan daya tarik dan kepercayaan investor asing. Sebagai contohnya, penangkapan beberapa lawan politik Presiden ErdoÄŸan—termasuk Gubernur Istanbul, Ekrem ImamoÄŸlu—yang sempat memanaskan situasi dalam negeri. Belum lagi kondisi pasar global yang fluktuatif, dampak perang dagang AS-China, konflik Rusia-Ukraina dan berbagai ancaman ekonomi lainnya.
Meski demikian, langkah diplomasi dan strategi ekonomi yang ditunjukkan Turki kali ini memberikan angin segar bahwa negara tersebut semakin matang dalam menghadapi tekanan global. Jika Turki mampu menjaga keseimbangan antara stabilitas politik dan keberlanjutan ekonomi, maka peluang untuk menjadi pemain utama dalam peta ekonomi global sangat terbuka lebar.
Penulis: Muhammad Tsabbit Aqdam
Editor: Muhammad Rangga
Tags:
Konsta Haber